Jumat, 06 Juli 2012

HAKEKAT PENDIDIKAN ISLAM

KONSEP DASAR PENDIDIKAN ISLAM
(Sebuah Telaah Ontologis tentang Pendidikan Islam)
Oleh : Sugito, M.Pd.I

PENDAHULUAN
Menurut catatan sejarah, kelahiran Islam disertai dengan kelahiran revolusi pendidikan, hal ini bukan hanya secara apologis bahwa ayat yang pertama turun adalah iqra’ (perintah membaca), kemudian disusul al-Muddatsir (perintah untuk bangkit). Namun lebih dari itu, Nabi Muhammad SAW memang telah melakukan revolusi  dalam bidang pendidikan, Nabi melakukan pemberantasan buta huruf besar-besaran. Hal ini disadarkan atas perseimbangan bahwa agama tidak akan berkembang  apabila jatuh di tangan orang-orang yang bodoh dan terbelakang (jahiliyah).
Bahkan untuk mensukseskan program pemberantasan buta huruf ini, Nabi mengesampingkan perbedaan sikap politik dan agama. Tebukti tahanan perang (musuh) dapat dibebaskan jika ia sanggup mengajar kepada beberapa orang dari umat Islam. Hal ini merupakan contoh sikap keterbukaan Nabi yang luar biasa hebatnya dan sampai sekarang belum terulang lagi dalam catatan sejarah.
Dari sikap yang diambil oleh Nabi tersebut, hasilnya adalah masyarakat yang semula jahiliyah dapat berkembang menjadi masyarakat belajar (berlangsung sekitar 1 abad) yang selanjutnya tumbuh sebagai penopang lahirnya masyarakat ilmu (berlangsung sekitar 7 abad) yang pengaruhnya masih berlangsung hingga tiga abad lagi (sampai runtuhnya umat Islam pada abad ke-16). Kebangkitan Islam dari abad 6 sampai abad 15 masih meninggalkan jejak pada warisan budaya dan ilmu pengetahuan, serta mampu menguasai 2/3 belahan bumi.
Hancurnya pendidikan Islam, menurut Chabib Thoha, tidak semata-mata karena lahirnya tasawuf dan tariqat di kalangan umat Islam, tetapi karena sistem politik Islam yang mandeg, para elite negara sibuk mengurus dirinya sendiri, saling berebut kekuasaan, semakin jauhnya pusat kekuasaan  dengan pusat ilmu.
Untuk semakin memperburuk kondisi umat Islam, maka dibangunlah dinding pemisah antara ulama dan pemerintahan, dianggap tabu apabila ulama ikut memikirkan negara, serta dibangun juga dinding pemisah antara ilmu agama dengan ilmu dunia. Bangsa barat-eropa sengaja memisahkan antara kaum agama dengan ilmu pengetahuan, sementara warisan tradisi keilmuan umat Islam abad 8 sampai 13 mereka ambil dan selanjutnya untuk menjajah, menindas dan merampok kemerdekaan ilmiah umat Islam.
Untuk menjawab tantangan tersebut, maka umat Islam harus jujur mengakui kelemahan dan kekurangannya selama ini, dan kembali mengulangi semangat revolusi pendidikan sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW pada saat membangun masyarakat Islam. Kebangkitan dan revolusi pendidikan Islam harus dimulai dari memahami hakekat pendidikan Islam itu sendiri, sebelum kemudian kita lebih jauh membahas metode, model, materi dan lain sebagainya tentang pendidikan. Karena dengan memahami secara tepat apa itu pendidikan Islam, kita akan mampu menentukan konsep-konsep yang lain dalam pengembangan pendidikan, baik dari segi materi maupun metodologis.
PERMASALAHAN
Permasalahan dalam penulisan makalah ini antara lain adalah;
Apakah pengertian pendidikan Islam?
Apa sumber dan dasar pendidika Islam?
Apa pokok-pokok kandungan pendidikan Islam?

Pengertian Pendidikan Dalam Islam
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu pada term al-tarbiyah, al-ta’dib dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut yang paling populer dipergunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah term al-tarbiyah. Sedangkan teal-ta’dib dan al-ta’lim jarang sekali digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.
Kendatipun demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga terma tersebut memiliki kesamaan makna. Namun, secara esensial, setiap term memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun kontekstual. Untuk itu, sebelum menjelaskan mengenai pengertian pendidikan Islam, akan penulis uraikan ketiga term pendidikan Islam tersebut dengan beberapa analisis dan argumentasi tersendiri dari beberapa pendapat para pakar pendidikan Islam.
Istilah al-Tarbiyah
Penggunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.
Dalam penjelasan lain, kata al-tarbiyah berasal dari tiga kata, yaitu: Pertama, rabba-yarbu yang artinya bertambah, tumbuh dan berkembang (Q.S. ar-Ruum/30: 39). Kedua, rabiya-yarba berarti menjadi besar. Ketiga, rabba-yarubbu berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun dan memelihara.
Kata rabb sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Fatihah/1: 2 (Alhamdu li Allahi rabb al-‘alamiin) mempunyai kandungan makna yang berkonotasi dengan istilah al-Tarbiyah. Sebab kata rabb (Tuhan) dan murabbi (pendidik) berasal dari akar kata yang sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah Pendidik Yang Maha Agung bagi seluruh alam semesta.
Uraian di atas, secara filosofis mengisyaratkan bahwa proses pendidikan Islam adalah bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah SwT sebagai “pendidik” seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia. Dalam konteks yang luas, pengertian pendidikan Islam yang dikandung dalam term al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu: (1) memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa (baligh). (2) mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan. (3) mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan. (4) melaksanakan pendidikan secara bertahap.
Penggunaan term al-tarbiyah untuk menunjukkan makna pendidikan Islam dapat difahami dengan merujuk firman Allah:
ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA—%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§‘ $yJßg÷Hxqö‘$# $yJx. ’ÎT$u‹­/u‘ #ZŽÉó|¹ ÇËÍÈ 
Artinya :     24. dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Q.S. al-Israa’/17:24)

Istilah al-Ta’lim
Istilah al-Ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding dengan al-tarbiyah maupun al-ta’dib. Rasyid Ridha, sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar misalnya mengartikan al-ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Argumentasinya didasarkan dengan merujuk pada ayat berikut ini;
!$yJx. $uZù=y™ö‘r& öNà6‹Ïù Zwqß™u‘ öNà6ZÏiB (#qè=÷Gtƒ öNä3ø‹n=tæ $oYÏG»tƒ#uä öNà6ŠÏj.t“ãƒur ãNà6ßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJò6Ïtø:$#ur Nä3ßJÏk=yèãƒur $¨B öNs9 (#qçRqä3s? tbqßJn=÷ès? ÇÊÎÊÈ 
Artinya :    151. sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah/2: 151)

Kalimat wa yu’allimu hum al-kitaab wa al-hikmah dalam ayat tersebut menjelaskan tentang aktivitas Rasulullah mengajarkan tilawat al-Qur’an kepada kaum muslimin. Menurut Abdul Fatah Jalal, apa yang dilakukan Rasul bukan sekedar membuat umat Islam bisa membaca, melainkan membawa kaum muslimin kepada nilai pendidikan tazkiyah an-nafs (pensucian diri) dari segala kotoran, sehingga memungkinkannya menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui. Oleh karena itu makna al-ta’lim tidak hanya terbatas pada pengetahuan lahiriyah, akan tetapi mencakup pengetahuan teoritis, mengulang secara lisan, pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan, perintah untuk melaksanakan pengetahuan dan pedoman untuk berperilaku.
Kecenderungan Abdul Fatah Jalal sebagaimana dikemukakan di atas, didasarkan pada argumentasi bahwa manusia pertama yang mendapat pengajaran langsung dari Allah adalah nabi Adam a.s., hal ini secara eksplisit disinyalir dalam Q.S. al-Baqarah/2:31. Pada ayat tersebut dijelaskan, bahwa penggunaan kata ‘allama untuk memberikan pengajaran kepada Adam a.s. memiliki nilai lebih yang sama sekali tidak dimiliki para malaikat.
Dalam argumentasi yang agak berbeda, istilah al-‘ilmu (sepadan dengan al-ta’lim) dalam al-Qur’an tidak terbatas hanya berarti ilmu saja. Lebih jauh kata tersebut dapat diartikan ilmu dan amal. Hal ini didasarkan pada ayat berikut ini;
óOn=÷æ$$sù ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) žwÎ) ª!$# öÏÿøótGó™$#ur šÎ7/Rs%Î! tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ öNä3t7¯=s)tGãB ö/ä31uq÷WtBur ÇÊÒÈ 
Artinya:    19. Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. (Q.S. Muhammad/47: 19)

Kata fa’lam (ketahuilah) pada ayat di atas memiliki makna sekedar mengetahui (ilmu) secara teoritis yang tidak memiliki pengaruh bagi jiwa, akan tetapi mengetahui yang membekas dalam jiwa dan ditampilkan dalam bentuk aktivitas (amaliah).  Dalam hal ini Allah SwT berfirman :
šÆÏBur Ĩ$¨Z9$# Å_U!#ur¤$!$#ur ÉO»yè÷RF{$#ur ì#Î=tFøƒèC ¼çmçRºuqø9r& šÏ9ºx‹x. 3 $yJ¯RÎ) Óy´øƒs† ©!$# ô`ÏB ÍnÏŠ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$# 3 žcÎ) ©!$# ͕tã î‘qàÿxî ÇËÑÈ 
Artinya:    28. dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Fathir/35:28)

Dalam konteks ini, makna kata ‘ulama’ dalam ayat di atas adalah orang-orang yang mengetahui ajaran agama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, fungsi ilmu pada dasarnya menuntut adanya iman, dan iman menuntut adanya amal. Tanpa amal, maka ilmu tidak akan berfungsi sebagai alat bagi manusia melaksanakan amanat-Nya sebagai khalifah fi al-ardl.

Istilah al-Ta’dib
Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam adalah al-ta’dib. Konsep ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:
أَدَّبَنِي رَبِّي فَأَحْسَنْ تَأْدِبِي (رواه العسكرى عن عليّ)
 Artinya:    “Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku” (H.R. al-‘Askary dari Ali r.a.)

Kata áddaba dalam hadits di atas dimaknai al-Attas sebagai “mendidik”. Selanjutnya ia mengemukakan, bahwa hadits tersebut bisa dimaknai kepada “Tuhanku telah membuatku mengenali dan mengakui dengan adab yang dilakukan secara berangsur-angsur ditanamkan-Nya kedalam diriku, tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu  di dalam penciptaan, sehingga hal itu membimbingku ke arah pengenalan dan pengakuan tempat-Nya yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian, serta –sebagai akbiatnya– Ia telah membuat pendidikanku yang paling baik”.
Berdasarkan batasan tersebut, maka al-ta’dib  berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.
Lebih lanjut al-Attas mengungkapkan bahwa, penggunaan istilah al-tarbiyah terlalu luas untuk mengungkap hakikat dan operasionalisasi pendidikan Islam. Sebab kata al-Tarbiyah yang memiliki arti pengasuhan, pemeliharaan dan kasih sayang tidak hanya digunakan untuk manusia, akan tetapi juga digunakan untuk melatih dan memelihara binatang atau makhluk Allah lainnya. Oleh karenanya, penggunaan istilah al-tarbiyah tidak memiliki akar yang kuat dalam khasanah bahasa Arab. Timbulnya istilah al-tarbiyah dalam Islam merupakan terjemahan dari bahasa Latin “educatio” atau bahasa Inggris “education”.  Kedua kata tersebut dalam batasan pendidikan Barat lebih banyak menekankan pada aspek fisik dan material. Sementara pendidikan Islam, penekanannya tidak hanya aspek tersebut, akan tetapi juga pada aspek psikis dan immaterial. Dengan demikian, istilah al-ta’dib merupakan terma yang paling tepat dalam khasanah bahasa Arab, karena mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan, kebijaksanaan, pengajaran dan pengasuhan yang baik sehingga makna al-tarbiyah dan al-ta’lim sudah tercakup dalam terma al-ta’dib.
Lebih detil, al-Attas menjelaskan bahwa penggunaan istilah al-ta’dib lebih tepat karena, istilah al-tarbiyah –dalam pengertian asalinya dan dalam penerapan dan pemahamannya oleh orang Islam pada masa-masa yang lebih dini– tidak dimaksudkan untuk menunjukkan pendidikan maupun proses pendidikan. Penonjolan kualitatif pada konsep tarbiyah adalah kasih sayang (rahmah) dan bukannya pengetahuan (‘ilm). Sementara dalam kasus al-ta’dib, pengetahuan lebih ditonjolkan daripada kasih sayang. Dalam struktur konseptualnya al-ta’dib sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (al-tarbiyah). Karenanya, tidak perlu lagi untuk mengacu kepada konsep pendidikan dalam Islam sebagai al-tarbiyah, al-ta’lim dan al-ta’dib sekaligus. Karena itu, al-ta’dib, menurut al-Attas merupakan istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan pendidikan dalam arti Islam.

Terlepas dari beberapa jauh ketepatan argumen Naquib Al-Attas mengenai  penggunaan  istilah ta’dib bagi  pendidikan  Islam,  di  sini tidak ingin diperdebatkan, karena sesungguhnya ketiga istilah atau kata-kata tersebut (al-tarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib) merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Artinya bila pendidikan dinisbatkan kepada   al-ta’dib   ia   harus   melalui   pengajaran   (ta’lim)   sehingga dengannya diperoleh ilmu. Dan dari ilmu yang telah dimiliki terwujudlah sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Hal ini lazim kita kenal sebagai kognitif, afektif dan psikomotorik.
Namun  mengingat  pengertian  al-tarbiyah  mencakup  empat unsur sebagaimana dikemukakan Abdur Rahman Al-Bani di atas, kiranya kata tersebut cukup menggambarkan keluasan dan ketepatannya. Dengan demikian istilah pendidikan disini dinisbatkan dengan al-tarbiyah.
Terlepas dari perdebatan mengenai makna ketiga term tersebut serta penggunaanya dalam ranah pendidikan Islam, secara terminologi, para pakar –baik yang sangat paham maupun yang kurang bahkan tidak paham sama sekali tentang pendidikan– telah Mencoba memformulasikan pengertian pendidikan Islam. Berikut ini penulis kutipkan beberapa pengertian pendidikan Islam tersebut;
Dr. Achmadi mendefinisikan pendidikan Islam  adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber  daya insan yang berada pada subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya kepribadian muslim.
Ahmad D. Marimba, mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).
Syahminan Zaini, menyatakan bahwa definisi pendidikan Islam adalah usaha mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran Islam, agar terwujud (tercapai) kehidupan manusia yang makmur dan bahagia.
Ramayulis, setelah mengutip pendapat M. Athiyah al-Abrasyi dan Ahmad D Marimba, ia mengemukakan pengertian pendidikan Islam dengan suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian. Pengertian pendidikan seperti disebutkan di atas mengacu pada suatu sistem yaitu “Sistem Pendidikan Islam”.
M. Arifin mengemukakan bahwa hakikat pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal.
Zuhairini mendefinisikaj pendidikan Islam dengan usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam atau sesuatu upaya dengan ajaran Islam, memikir, memutuskan dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dr. Ahmad Tafsir, berpendapat bahwa hakikat pendidikan adalah menolong atau memberi pertolongan dari guru kepada murid, sedangkan pengertian pendidikan Islam ialah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai ajaran Islam. Bila disingkat, pendidikan Islam ialah bimbingan terhadap seseorang agar menjadi muslim semaksimal mungkin.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi memberikan pengertian pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.
Dr. Ali abdul Halim Mahmud, Murid Hasan al-Bana, mendefinisikan tarbiyah Islamiyah dengan: sebuah sistem sosial yang dibawa oleh Islam untuk membatasi pengaruh efektivitas keluarga yang dalam pengertian sempit meliputi kedua orang tua dan saudara terdekat. Sedangkan dalam pemahaman luas, termasuk di dalamnya tetangga, para sahabat, dan komunitas sosial seluruhnya. Masjid mempunyai peranan sebagai pemantapan jiwa bagi orang-orang yang merasa ragu terhadap pengaruh yang melekat pada mental, akal dan moralnya. Sedangkan, sekolah meliputi pengajar, buku perlengkapan belajar, gedung dan metode pengajaran. Sekolah akan menggarap dalam jiwa para pelajarnya sisi keimanan, moral, akal, jasmani dan sosial. Sehingga manusia dapat hidup bahagian dan tenang dalam lingkungannya pada kehidupan dunia, kemudian memakmurkannya dengan perbuatan baik dan amal saleh, dengan harapan Allah SWT memberikan keridhaan-Nya dan melimpahkan pahala-Nya di hari akhir yang abadi.
Dari pengertian umum di atas, Dr. Ali abdul Halim Mahmud kemudian memberikan pengertian khusus tentang tarbiyah Islamiyah dengan proses pendidikan yang dilakukan oleh generasi yang besar kepada generasi yang masih kecil, dengan tujuan membangunnya dengan pengembangan yang baik, yang mewujudkan keinsanan mereka dan yang menjadi faktor penyebab mereka dimuliakan Allah SWT, sesuai dengan fase perkembangan mereka, di bawah naungan madrasah Islam, tenaga pengajarnya, buku-buku pelajarannya, misalnya, manhajnya, bangunannya, visi-visinya. Sehingga mereka memegang teguh keimanan pada Allah, keimanan pada hari akhir, keimanan pada para malaikat, keimanan pada kitab-kitab Allah, keimanan pada rasul-rasul Allah, dan keimanan pada qadha dan qadar, dan yang dituntut dari keimanan ini adalah agar beramal saleh dan menjalankan metode Allah dalam beibadah kepada-Nya, bermuamalah dan berperilaku, sehingga dapat merealisasikan kebahagiaan bagi kehidupan di dunia dan akhirat.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah mendefinisikan tarbiyah mencakup dua makna, yaitu: tarbiyah yang berkaitan dengan ilmu seorang murabbi, yakni sebuah tarbiyah yang dilakukan oleh seorang murabbi terhadap ilmunya agar ilmu tersebut menjadi sempurna dan menyatu dalam dirinya di samping itu pula agar ilmu tersebut bertambah. Tarbiyah seperti ini diibaratkan sebagai seorang yang berharta merawat hartanya agar menjadi bertambah. Kedua, tarbiyah yang berkaitan dengan orang lain, yakni kerja tarbiyah yang dilakukan oleh seorang murabbi dalam mendidik manusia dengan ilmu yang dimilikinya dan dengan ketekunannya menyertai mereka agar mereka menguasai menguasai ilmu yang diberikan kepadanya secara bertahap. Tarbiyah seperti ini diibaratkan seperti orang tua yang mendidik dan merawat anak-anaknya.
Dalam pemahaman tarbiyah yang kedua, Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa tarbiyah dilakukan secara bertahap. Bertahap dalam hal ini tentu bermakna bahwa tarbiyah (baca: mendidik anak) harus disesuaikan dengan tahap perkembangan jasmani dan rohani, akal dan mentalnya seorang peserta didik. Bertahap juga bermakna bahwa pendidikan harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan, sedikit demi sedikit, mulai dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks dan sulit.

Dari berbagai definisi pendidikan Islam yang dikemukakan di atas, dan tentu masih banyak lagi pengertian pendidikan menurut para ahli, nampak sekali persoalan usaha membimbing ke arah pembentukan kepribadian, dalam arti akhlak menjadi perhatian utama, di samping ke arah perkembangan diri.

Hakikat Pendidikan Islam
Dari sekian banyak paparan mengenai pengertian pendidikan Islam, maka penulis coba untuk memahami apa sebenarnya pendidikan Islam. Muhaimin memahami istilah pendidikan Islam dengan beberapa pengertian;
Pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu al-Qur’an dan Assunnah. Dalam pengertian yang pertama ini, pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut.
Pendidikan ke-Islam-an atau pendidikan Agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life seseorang  atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan dan/atau menumbuh-kembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya; (2) segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya dan/atau tumbuh kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak.
Pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam. Dalam arti proses bertumbuhkembangnya sistem budaya dan peradaban, sejak nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Jadi, dalam pengertian yang ketiga ini istilah pendidikan Islam dapat dipahami sebagai proses pembudayaan dan pewarisan ajaran agama, budaya dan peradaban umat Islam dari generasi ke generasi sepanjang sejarahnya.

Walaupun istilah pendidikan Islam tersebut dapat dipahami secara berbeda, namun, masih menurut Muhaimin, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan dan meujud secara operasional dalam satu sistem yang utuh. Konsep dan teori kependidikan sebagaimana yang dibangun atau dipahami dan dikembangkan dari al-Qur’an dan as-Sunnah, mendapatkan justifkasi dan perwujudan secara operasional dalam proses pembudayaan dan pewarisan serta pengembangan ajaran agama, budaya dan peradaban Islam dari generasi ke generasi, yang berlangsung sepanjang sejarah umat Islam. Proses tersebut dalam praktiknya berlangsung bersama dan tidak dapat dipisahkan dari proses pembinaan dan pengembangan manusia atau pribadi muslim pendukungnya pada setiap generasi sepanjang sejarah umat Islam tersebut.
Agar pemahaman mengenai hakekat pendidikan Islam menjadi lebih lengkap, maka tidak ada salahnya penulis tambahkan mengenai prinsip-prinsip pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Mujib Muhaimin berikut ini;
Proses transformasi dan intensitas, yaitu upaya pendidikan Islam harus secara bertahap, berjenjang dan kontiue dengan upaya pemindahan, penanaman pengetahuan, pengajaran, pembimbingan sesuatu yang dilaksanakan secara terencana, sistematis dan terstruktur dengan menggunakan pola dan sistem tertentu.
Ilmu pengetahuan dan nilai-nilai, yaitu upaya yang diarahkan pada pemberian dan penghayatan, serta pengamalan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai.
Pada diri anak didik, yaitu pendidikan itu diberikan pada yang mempunyai potensi-potensi rohani. Dengan potensi itu anak didik dimungkinkan dapat dididik, sehingga pada akhirnya mereka dapat mendidik. Konsep ini berpijak pada konsep manusia sebagai makhluk psikis (al-Insan)
Melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya, yaitu tugas pokok pendidikan Islam hanyalah menumbuhkan, mengembangkan, memelihara dan menjaga potensi laten manusia agar ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat kemampuan, minat dan bakatnya. Dengan demikian terciptalah dan terbentuklah daya kreatifitas dan produktifitas anak didik.
Guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya, yaitu tujuan akhir dari proses pendidikan Islam adalah terbentuknya “Insan Kamil” (conscience) yaitu manusia yang dapat menselaraskan kebutuhan hidup jasmani-rohani, struktur kehidupan dunia akhirat, keseimbangan pelaksanaan fungsi manusia sebagai hamba –khalifah Allah dan keseimbangan pelaksanaan trilogi hubungan manusia. Diharapkan, proses pendidikan Islam yang dilakukan dapat menjadikan anak didik penuh bahagia, sejahtera dan penuh kesempurnaan.

Prinsip Dasar Pendidikan Islam
Pembahasan berikutnya tentang ontologi pendidikan Islam adalah apa saja prinsip dalam pendidikan Islam. Kajian tentang prinsip pendidikan Islam menjadi penting agar terlihat jelas bedanya dengan pendidikan umum dan juga pendidikan Barat yang sekuler.
Dalam buku Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Maksum menyebutkan sedikitnya ada empat prinsip dasar pendidikan Islam;
Pendidikan Islam adalah bagian dari Proses rububiyah Tuhan
Dengan mengurus, memelihara dan menumbuhkembangkan alam secara bertahap dan berangsur-angsur maka Tuhan adalah murabbi (pendidik) sebenarnya. Adapun peran manusia dalam pendidikan secara teologis dimungkinkan karena posisinya sebagai makhluk, ciptaan Allah, yang paling sempurna dan dijadikan sebagai khalifah fi al-ard (pengganti atau wakil Tuhan di muka bumi), Q.S. al-An’am (6): 165.
Status ini mengimplikasikan bahwa manusia secara potensial memiliki sejumlah kemampuan yang diperlukan untuk bertindak sesuai dengan ketentuan Tuhan. Sebagai khalifah, manusia yang juga mengemban fungsi rububiyyah Tuhan terhadap alam semesta termasuk juga diri manusia sendiri.
Dengan pertimbangan di atas dapat dikatakan bahwa karakter hakiki pendidikan Islam pada intinya terletak pada fungsi rububiyyah Tuhan yang secara praktis dikuasakan atau diwakilkan kepada manusia. Dengan kata lain, pendidikan Islam tidak lain adalah keseluruhan dari proses dan fungsi rububiyyah Tuhan terhadap manusia, sejak dari proses penciptaan serta pertumbuhan dan perkembangannya secara bertahap dan berangsur-angsur sampai dewasa dan sempurna, baik dalam aspek akal, kejiwaan maupun jasmaninya. Selanjutnya, atas dasar tugas kekhalifahan, manusia sendiri bertanggung jawab untuk merealisasikan proses pendidikan Islam (yang hakekatnya proses dan fungsi rububiyyah Allah) tersebut dalam dan sepenjang kehidupan nyata di muka bumi (dunia) ini.
Dalam proses pendidikan ini, menurut Nizar, manusia harus mendayagunakan potensi yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya secara bertanggung jawab dalam rangka merealisasikan tujuan dan fungsi penciptaannya di alam ini, baik sebagai ‘abd maupun khalifah fi al-ard.
Pendidikan Islam berusaha membentuk manusia seutuhnya
Manusia dalam pandangan al-Qur’an dan al-Hadits adalah manusia yang lengkap, terdiri dari unsur jasmani dan ruhani, unsur jiwa dan akal, unsur nafs dan qalb. Pendidikan Islam tidak dikhotomis dalam menangani unsur-unsur tersebut dengan mengangap lemah atau mengunggulkan yang satu atas yang lainnya. Semua unsur merupakan satu kesatuan organis dan dinamis yang saling berinteraksi. Pendidikan Islam dalam hal ini merupakan usaha untuk mengubah kesempurnaan potensi itu menjadi kesempurnaan aktual, melalui setiap tahapan hidupnya. Pendidikan Islam harus mampu menjaga keutuhan unsur-unsur individual anak didiknya dan mengoptimalkan potensinya dalam garis keridhaan Tuhan.
Dalam bahasa Nizar, pendidikan Islam harus dibangun di atas konsep kesatuan (integrasi) antara pendidikan Qalbiyah dan ‘Aqliyah sehingga mampu menghasilkan manusia muslim yang pintar secara intelektual dan terpuji secara moral. Jika kedua komponen itu terpisah atau dipisahkan dalam proses pendidikan Islam, maka manusia akan kehilangan keseimbangannya dan tidak akan pernah menjadi pribadi-pribadi yang sempurna (al-insan al-kamil).
Pendidikan Islam selalu berkaitan dengan agama
Pendidikan Islam sejak awal merupakan salah satu usaha untuk menumbuhkan dan memantapkan kecenderungan tauhid yang telah menjadi fitrah manusia. Agama (al-din) menjadi petunjuk dan penuntun ke arah itu. Karena itu, pendidikan Islam selalu menyelenggarakan pendidikan agama (diniyyah). Dalam konteks ini, pendidikan Islam bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu sebagai materi, atau ketrampilan sebagai kegiatan jasmani semata, melainkan selalu mengaitkan semuanya itu dengan kerangka pratek (‘amaliah) yang bermuatan nilai moral. Jadi, pengajaran agama dalam pendidikan Islam tidak selalu dalam pengertian (ilmu agama) formal, tetapi dalam pengertian “essensi”nya yang dapat saja berada dalam ilmu-ilmu lain yang sering dikategorikan secara tidak proporsional sebagai ilmu sekuler.
Pendidikan Islam merupakan pendidikan terbuka
Dalam Islam diakui adanya perbedaan manusia. Akan tetapi perbedaan itu bukanlah perbedaan yang hakiki, karena perbedaan yang sesungguhnya terletak pada amal perbuatan (Q.S. al-Mulk (67): 2) dan ketaqwaan seseorang (Q.S. al-Hujurat (49): 13). Pendidikan Islam berwawasan kemanusiaan yang melampaui batas-batas tempat, waktu, bahasa dan lain-lainnya yang sesuai dengan universalitas ajaran Islam sendiri. Keterbukaan pendidikan Islam juga ditandai dengan kelenturan dalam mengadopsi (menyerap) unsur-unsur positif dari luar Islam yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakatnya dengan tetap menjaga dasar-dasar orisinalitas (shalih) yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. Karena itu, pendidikan Islam pada dasarnya bersifat terbuka, demokratis dan universal.

Masih tentang prinsip-prinsip pendidikan Islam, M. Chabib Thoha menyatakan bahwa ketika Allah memperkenalkan misi manusia untuk mendiami bumi dengan menjadikannya sebagai khalifah di bumi (Q.S. al-Baqarah (2): 30-34), yaitu misi khalifah bukan penguasaan manusia atas manusia, melainkan juga tugas kependidikan sebagai konsekuensi tanggung jawab intelektual untuk menegakkan kebenaran. Karena itu, hakikat pendidikan Islam bukan bertujuan untuk meleburkan sifat dan potensi insani ke dalam sifat dan potensi malakian (sifat malaikat), melainkan justru merupakan proses pemeliharaan dan penguatan sifat dan potensi insani sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dan kebenaran. Berdasarkan hal itulah maka dikemukakan bahwa prinsip-prinsip pendidikan Islam adalah (1) Pendidikan Islam sebagai proses kreatif (2) Prnsip percaya pada diri sendiri (3) Pendidikan Islam memberi kebebasan untuk memilih dan (4) Pendidikan berwawasan nilai.
Sementara itu, Azyumardi Azra yang menyebut prinsip-prinsip dengan karakteristik pendidikan Islam, menyebutkan identitas pendidikan Islam sebagai berikut; pertama, penguasaan ilmu pengetahuan, kedua, pengembangan ilmu pengetahuan, ketiga, penekanan pada nilai-nilai akhlak dalam penguasaan dan pengembangan pengetahuan, keempat, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan hanyalah untuk pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umum, kelima, penyesuaian kepada perkembangan anak sesuai dengan umur, kemampuan, perkembangan jiwa dan bakat anak keenam, pengembangan kepribadian sesuai dengan bakat dan kemampuan terutama berkaitan dengan seluruh nilai dan sistem Islam, dan ketujuh, penekanan pada amal saleh dan tanggung jawab yang mengantarkannya kepada kebahagiaan kelak. Karakteristik inilah yang membedakan sekaligus mencerminkan eksistensi pendidikan Islam di tengah-tengah pendidikan lainnya. Pendidikan Islam mempunyai ikatan langsung dengan nilai-nilai dan ajaran Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Abd. Rahman Abdullah, mengutip pendapat Munir Mursi, menyebutkan prinsip dasar pendidikan Islam antara lain adalah;
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bersifat sempurna, yaitu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik jasmani maupun ruhani dan akal.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bersifat pengalaman, tidak cukup sekedar perkataan saja tetapi menuntut pengalaman (rukun Islam, semua menuntut pengalaman bukan saja perkataan lisan melainkan juga perbuatan).
Pendidikan Islam bersifat pribadi dan masyarakat. Dikatakan pribadi karena berdasarkan keutamaan pribadi menjadi sumber kebaikan dalam masyarakat. Islam mendidik pribadi agar bermasyarakat. Setiap muslim adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya.
Pendidikan Islam adalah pendidikan mengembangkan fitrah manusia.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang mengarah kepada kebaikan individu dan masyarakat.
Pendidikan Islam berlangsung terus menerus sepanjang kehidupan manusia.
Pendidikan Islam berlaku untuk seluruh umat manusia.
Prinsip-prinsip dasar pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan beberapa tokoh pendidikan tersebut, dan tentu masih banyak lagi yang lain, merupakan karakter pendidikan Islam yang tentu saja berbeda dengan pendidikan umum yang cenderung liberal dan sekuler. Oleh karen memiliki prinsip sendiri, tentu dalam proses pendidikan yang meliputi metodologi, materi, teknik dan sebagainya harus terdapat perbedaan, walaupun tentu tidak menampik adanya kesamaan dalam beberapa aspek.

Dasar Pendidikan Islam
Sebagai sebuah aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asa atau dasar yang dijadikan landasan operasional proses pendidikan. Dasar tersebut yang akan membuat pendidikan berjalan sesuai dengan apa yang telah diprogramkan. Menurut Samsul Nizar, dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik (siswa) ke arah pencapaian pendidikan. Dan dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (hadits).
Menetapkan al-Qur’an dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata, namun juga karena kebenaran yang terdapat dalam keduanya dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan. Kebenaran al-Qur’an mutlak dan tidak ada keraguan di dalamnya (Q.S. al-Qur’an (2): 2). Al-Qur’an akan selalu terjaga kemurniannya sepanjang masa (Q.S. al-Ra’du (15): 9). Adapun hadits, dalam pendidikan Islam mempunyai dua fungsi, yaitu: (1) menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan menjelaskan hal-hal yang tidak terdapat di dalamnya, (2) menyimpulkan metode pendidikan Islam ala Rasulullah bersama para sahabat, perilaku beliau terhadap anak-anak, dan pendidikan keimanan yang pernah rasulullah lakukan.
Sementara itu, Sa’id Ismail Ali, sebagaimana dikutip Langgulung, menyebutkan ada 6 macam dasar pendidikan Islam, yaitu; al-Qur’an, Sunnah, qaul al-sahabat, masalih al-mursalah, ‘urf, dan pemikiran hasil ijtihad intelektual muslim.

Pokok-Pokok Kandungan Pendidikan Islam
Selain berpegang pada prinsip dan dasar di atas, pendidikan Islam juga dicirikan oleh kandungannya yang merupakan representasi dari ajaran Islam. Dalam hal ini, kandungan pendidikan Islam pada intinya bersumber pada semua aspek yang mengarah pada pemahaman dan pengamalan doktrin Islam secara menyeluruh.
Maksum menjelaskan pokok-pokok pendidikan Islam sebagai berikut;
Aqidah tauhid
Pengajaran tauhid pada dasarnya adalah memenuhi fitrah manusia (Q.S. al-A’raf (7): 172). Sehingga prinsip ketauhidan dalam pendidikan Islam harus menjadi dasar bagi perumusan tujuan, perancangan metode dan penyusunan bahan-bahan pendidikan. Dengan kata lain, tujuan, metode maupun bahan-bahan pendidikan tidak boleh bertentangan dengan jiwa tauhid, melainkan justru harus dalam rangka mengekalkan dan memantapkan jiwa tersebut, baik yang uluhiyahnya maupun rububiyahnya.
Manusia
Dalam pandangan Islam, manusia memiliki dua peran utama. Yaitu peran sebagai khalifah Allah dan sebagai ‘Abd. Kedua peran tersebut agaknya sejalan dengan dua tahapan kehidupan manusia, yaitu kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat. Sebagai pencipta dan pemilik alam semesta,  termasuk manusia, Tuhan telah menentukan perjalanan manusia yang tidak  hanya berakhir di dunia saja, melainkan berlanjut pada kehidupan akhirat. Agar peran manusia sebagai khalifatullah fi al-ardh (Q.S. al-Baqarah (2): 30) sebagai peran yang terbatas di dunia memiliki keterkaitan dengan kelangsungan hidupnya di akhirat, manusia dituntut untuk bersikap pasrah secara mutlak kepada Allah, yang disebut ibadah. Mengutip pendapat Hasan Abd al-‘Al, maksum menuliskan “Manusia tidak akan dapat menanggung beban tugasnya sebagai khalifah jika dalam dirinya tidak terbentuk perasaan tunduk (‘ibadah) yang total kepada Tuhan”. Ibadah total inilah ibadah yang terhindar dari menyekutukan Allah dengan yang lainnya (syirik).
Pendidikan Islam memiliki muara akhir untuk membentuk manusia seutuhnya (al-insaan al-kamil). Konsep manusia seutuhnya dalam pandangan Islam dapat diformulasikan  secara  garis  besar  sebagai  manusia  beriman  dan  taqwa serta memiliki berbagai kemampuan yang teraktualisasi dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam sekitarnya secara baik, positif, dan konstruktif. Demikianlah manusia produk pendidikan Islam yang diharapkan pantas menjadi khalifatullah fil- ard.
Masyarakat
Masyarakat dalam Islam dilihat dalam prinsip persamaan (al-musawah). Prinsip ini dilahirkan dari ajaran keesaan Tuhan (tauhid), sehingga seseorang akan selalu merasa merdeka dari penghambaan antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan prinsip tersebut, maka lahirlah konsep “kesetiakawanan sosial” (al-takaful ijtima’i), mulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga sampai yang paling besar, yaitu umat manusia umumnya. Dalam masyarakat, hendaknya diperhatikan keseimbangan yang dinamis antara hak dan kewajiban masing-masing individunya dan keseimbangan dalam penanganan seluruh aspek kehidupannya.
Alam semesta
Al-Qur’an memandang alam semesta memiliki kesatuan kosmis yang bersumber dari keesaan Tuhan. Bersumber dari keesaan Tuhan, maka setiap realitas atau bagian dari alam semesta merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Alam yang menurut surat al-Nahl (16): 12-16 adalah diciptakan untuk manusia, maka manusia sebagai khalifah Allah fi al-ardh harus menjaga keserasian ekosistemnya. Dalam melestarikan dan memanfaatkan alam untuk kepentingan manusia sendiri, di mana alam senantiasa berubah maka manusia harus berusaha menguasai ilmu pengetahuan tentang alam semesta ini.
Ilmu pengetahuan
Islam memandang tidak ada pemisahan antara al-din (agama) dan al’ilm (ilmu). Mengutip pendapat Hasan Abd al-‘Al, Maksum berpendapat bahwa pandangan yang memisahkan antara ilmu dan agama adalah keliru. Sehingga tidak bisa dipisahkan antara ilmu aga dengan ilmu umum. Semua ilmu adalah islami sepanjang berada dalam batas-batas yang digariskan Allah kepada kita. Dan ilmu yang mutlak (kebenarannya) adalah milik Allah semata (Q.S. Ali Imron (3): 60).
Dalam perspektif pendidikan Islam, yang menyiapkan manusia agar dapat melakukan perannya, baik sebagai khalifah maupun sebagai ‘abd, maka yang wajib dituntut oleh manusia adalah ilmu yang sifatnya terpadu. Dan mencari ilmu, dalam Islam dimasukkan ke dalam amalan terhormat –sebagai bagian dari ibadah kepada Allah.  Islam juga menjunjung tinggi dengan memuliakan orang yang beriman dan memiliki ilmu pengetahuan (Q.S. al-Mujadalah (58): 11).

KESIMPULAN DAN PENUTUP
Pendidikan merupakan proses bimbingan terhadap jasmani dan ruhani peserta didik agar tumbuh menjadi pribadi yang sempurna (al-insan al-kamil). Manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu berperan sebagai khalifah Allah fi al-ardh sekaligus sebagai seorang ‘abd. Untuk mampu menjalankan peran ganda yang berdimensi duniawi dan ukhrowi sekaligus, maka manusia sebagai peserta didik harus dibekali dengan ilmu yang tidak ada dikhotomi di dalamnya. Ilmu yang dimaksud tentu ilmu dan agama yang terpadu dan utuh yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah sebagai dasar pelaksanaan pendidikan Islam.
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang memiliki prinsip dan karakteristik sendiri yang sangat berbeda dengan pendidikan sekuler.  Diantara prinsip utama pendidikan Islam adalah konsep keseimbangan antara dunia dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Drs. Abdul Rahman, M.Ag, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam Rekonstruksi Pemikiran dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta, UII Press, 2001.
Achmadi, Drs. H., Islam Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta, Aditya Media, 1992.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib,  Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Baqir, Bandung, Mizan, 1984.
Al-Hijazy, Dr. Hasan bin Ali, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, terj., Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2001.
Al-Qurthubiy, Ibn Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary, Tafsir al-Qurthuby, Juz. I, Kairo, Dar al-Sya’by, tt.
Al-Syaibany, Omar Mohammad al-Thoumy, Falsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1979.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam,terj. Herry Noer Ali, Drs., Bandung, CV. Diponegoro, 1992
Arifin, H.M., Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta, Bumi Aksara, 1994.
Azra, Azyumardi, Esai-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.
Jalal, Abdul Fatah, Azas-Azas Pendidikan Islam, Terj. Harry Noer Ali, Bandung, CV. Diponegoro, 1988.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1989.
Mahmud, Ali Abdul Halim, Dr., Pendidikan Ruhani, Jakarta, Gema Insani Press, 2000.
Maksum, Dr. H., Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,(Bandung, al-Ma’arif, 1989.
Muhaimin, Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, Trigenda Karya, 1993.
Muhaimin, Drs., MA., et.al., Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, cet.II, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2002.
Nizar, H. Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Teoritis dan Praktis, Jakarta, Ciputat Pers, 2002.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 1994.
Tafsir Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1994.
Tafsir, Prof. Dr. Ahmad, Filsafat Pendidikan Islami, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2008.
Thoha, Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996.
Zaini, Syahminan, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islami, Jakarta, Kalam Mulia, 1986.
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar