Minggu, 08 Juli 2012

Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
KH. AHMAD DAHLAN

Pendahuluan
Dari sudut pandang sejarah, hampir semua peneliti pendidikan maupun Islam sepakat bahwa Muhammadiyah merupakan pioner pembaharuan pendidikan Islam yang cukup berpengaruh  di Indonesia.[1] Ahmad Dahlan dan generasi awal Muhammadiyah pada awal abad ke-20 berhasil menyerukan pembaharuan pendidikan Islam yang diimplementasikan dalam bentuk pendirian lembaga pendidikan baik yang berbentuk pesantren, madrasah ataupun sekolah. Seruan modernisasi pendidikan ini menggema di mana-mana, menembus sampai luar wilayah Yogyakarta sebagai basis gerakannya. Bahkan, sampai ke berbagai kota dan pelosok desa di tanah air.[2] Dan sekarang ini, berbagai jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan pra sekolah, jenjang pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi, telah banyak dimiliki oleh organisasi Muhammadiyah. Bahkan jumlah pendidikan tinggi yang dikelola oleh Muhammadiyah saat ini, oleh organisasi yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan ini diklaim sebagai yang terbesar di negeri ini, yang jumlahnya melebihi sekolah yang dikelola oleh pemerintah.
Membahas tentang pendidikan Muhammadiyah sebagai salah satu pembaharu pendidikan Islam di Indonesia tentu tidak bisa lepas dari pemikiran pendiri organisasi ini. Tokoh utama periode awal berdirinya Muhammadiyah tentu saja adalah K.H. Ahmad Dahlan; penggagas dan pendiri organisasi Muhammadiyah yang karena perjuangan dan kepeloporannya dalam memajukan bangsa dan pendidikan nasional dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Tulisan ini akan berusaha menggali pemikiran pembaharuan pendidikan Islam dari K.H. Ahmad Dahlan. Secara sistematis, dengan menggunakan pendekatan historis dengan mengembangkan telaah kritis terhadap literatur sejarah yang ditulis oleh para peneliti sejarah nasional, terutama dalam bidang pendidikan, penulis akan membahas pemikiran pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan dalam tiga bagian. Bagian pertama berisi tentang biografi dan setting sosial pemikiran pendidikan K.H. Ahmad Dahlan, kajian kedua, akan diuraikan tentang pemikiran pendidikan K.H. Ahmad Dahlan, dan pada bagian akhir merupaka telaah kritis atas pemikiran pendidikan K.H. Ahmad Dahlan.
Biografi K.H. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir pada tahun 1868 di kampung Kauman (Yogyakarta) dan meninggal pada tanggal 25 Februati 1923. Nama kecil Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ia merupakan anak kelima dari K.H. Abu Bakar, yang merupakan seorang imam dan khatib masjid besar Kraton Yohyakarta. Ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.[3]
Semenjak kecil Darwis diasuh dan dididik sebagai putera kyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, seperti umumnya santri pada waktu itu, setelah memiliki dasar-dasar pendidikan agama Islam, Darwis menjadi “musafir pencari ilmu”[4] yang mengembara dari pesantren satu ke pesantren lainnya untuk memperdalam ilmu agama. Beberapa kyai besar waktu itu yang di mana Darwis pernah memperdalam ilmunya antara lain adalah; K.H. Muhammad Saleh Darat, seorang ulama terkenal yang tinggal di kampung Darat, Semarang. Kepada beliau, Darwis menimba ilmu fiqh. Di pesantren mbah Saleh Darat itu pula K.H. Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri Jam’iyyah Nahdhatul Ulama (NU) pernah belajar. Selanjutnya Darwis juga belajar kepada K.H. Muhsin (ilmu Nahwu), K.H.R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu Hadits)[5], Syekh Amin dan Sayyid Bakri (ilmu qira’at al-Qur’an), serta beberapa guru lainnya. Karena ketekunan dan kecerdasannya, dalam usia yang relatif masih muda, Darwis telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman, bahkan ia selalu merasa tidak puas dengan apa yang telah dipelajarinya sehingga terus berupaya untuk lebih mendalaminya.
Ketika Muhammad Darwis berumur 15 tahun (1883), dengan dibiayai oleh kakak iparnya, K.H. Soleh, ia berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus melanjutkan studinya dan bemukim di Mekah selama lima tahun.[6] Dalam studinya tersebut Muhammad Darwis banyak belajar ilmu agama dari para ulama terkenal. Diantara gurunya waktu itu adalah Sayyid Bakri Syata’, salah seorang mufti madzhab Syafi’i yang bermukim di Mekkah. Bahkan Sayyid Bakri Syata’–lah yang mengganti nama Muhammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan.[7] Sepulang dari ibadah haji Muhammad Darwis yang telah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah binti H. Fadhil, dan dikaruniai putra: Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Siti Aisyah, Irfan Dahlan, dan Siti Zuharah.[8]
Berbekal kedalaman ilmu agama yang telah dikuasainya, K.H. Ahmad Dahlan kemudian mulai mengajar mengaji di kampungnya dan beberapa kali menjadi badal (pengganti) ayahnya menjadi khatib bahkan kaena kemampuannya, K.H. Ahmad Dahlan kemudian diangkat menjadi salah seorang khatib di masjid Besar Kasultanan Yogyakarta.[9]
Setelah beberapa tahun lamanya bekerja sebagai khatib dan berdagang batik di beberapa daerah, tepatnya tahun 1902 (34 th), K.H. Ahmad Dahlan mendapatkan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Pada kunjungan yang kedua ini, Dahlan menetap selama satu setengah tahun dengan tujuan untuk kembali memperdalam ilmunya[10]. Ketika mukim yang kedua kali ini, memperdalam ilmu fiqh kepada Kyai Machfudz Termas dan Sayid Babusyel, ilmu Hadits kepada Mufti Syafi’i, ilmu falaq kepada Kyai Asy’ari Bacean dan ilmu qira’ah kepada syekh Ali al-Musri Makkah[11]. Selain itu, K.H. Ahmad Dahlan juga banyak melakukan mudzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di sana, diantaranya adalah; Syeikh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kyai Nawawi al-Bantani, Kyai Mas Abdullah dan Kyai Faqih Kembang.[12] Pada saat itu pula, K.H. Ahmad Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan melalui penganalisaan kitab-kitab yang ditulis oleh pembaharu Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.
Dahlan semakin memahami ide pembaharuan Islam setelah melakukan dialog dengan Syeikh Muhammad Rasyid Ridha dari Mesir, selain juga membaca majalah al-Manar dan al-Urwat al-Wutsqa. Adapun kitab-kitab yang menjadi bahan kajian K.H. Ahmad Dahlan selanjutnya adalah[13];
At-Tauhid (Muhammad Abduh)
Tafsir Juz Amma (Muhammad Abduh)
Al- Islam wal Nasriyyah (Muhammad Abduh)
Fi’il Bid’ah (Ibn Taimiyah)
Izhar al-Haqq (Rahmat Allah al-Hindi)
Kanz al-‘Ulum
Da’irah al-Ma’arif (Farid Wajdi)
Tafshil al-Nasyatin Tahshil al-Sa’adatain
Matan al-Hikam (‘Atha’ Allah)
Al-Tawassul wa’l Wasilah (Ibn Taimiyah)
Al-Qashaid al-Aththasiyyah (‘Abd al-Aththas)
Ide pembaharuan yang berkembang di Timur Tengah sangat menarik hati K.H. Ahmad Dahlan, terutama bila melihat realita dinamika umat Islam Indonesia yang cukup stagnan. Sehingga, sepulangnya ke tanah air, ia sangat aktif menyebarkan gagasan pembaharuan ke berbagai daerah. Sambil berdagang batik K.H. Ahmad Dahlan melakukan tabligh dan diskusi keagamaan. Kemudian, atas desakan para muridnya dan beberapa anggota Boedi Oetomo, maka K.H. Ahmad Dahlan merasa perlu untuk merealisasikan ide pembaharuannya melalui sebuah organisasi keagamaan yang permanen. Maka didirikanlah organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912 di Yogyakarta. Tujuan organisasi ini adalah “menyebarkan pengajaran Rasulullah kepada penduduk bumiputera dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya”. [14]
Untuk mencapai maksud ini, Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan (tingkat dasar sampai perguruan tinggi), mengadakan rapat-rapat, dan tabligh, mendirikan badan wakaf dan masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur, surat kabar dan majalah. Sementara untuk menumbuhkan semangat patriotisme para anggotanya, organisasi ini membentuk suatu wadah bagi para pemudanya melalui Hizbul Wathan, untuk kaum perempuan dibentuk ‘Aisyiyah. Untuk meminimalisir pertikaian antar umat Islam dalam persoalan khilafiyah, Muhammadiyah membentuk Majlis Tarjih.[15]
Ahmad Dahlan adalah seorang yang sangat berani. Bagi dia, kebenaran harus tetap dilaksanakan dan ditegakkan, sekalipun harus berhadapan dengan kekuasaan. Hal ini, menurut Abdul Mu’ti, dibuktikan dalam dua hal. Pertama, kiblat masjid Besar Kasultanan yang menurut Dahlan tidak sama persis dengan perhitungan falaq, maka Dahlan kemudian mengundang para khatib dan penghulu untuk melakukan diskusi tentang kiblat masjid Besar tersebut, yang sekalipun tidak dihadiri oleh para khatib, tetapi kemudian banyak diikuti oleh kalangan muda Kauman yang kemudian membuat garis-garis shaf menurut perhitungan falaq yang Dahlan lakukan. Kedua, adalah kasus perbedaan penentuan tanggal 1 Syawwal antara perhitungan falaq dengan aboge. K.H. Ahmad Dahlan dengan diantar oleh Kanjeng Penghulu memberanikan diri menghadap Kanjeng Sultan dan menyampaikan perhitungan falaqnya. Gagasan K.H. Ahmad Dahlan diterima oleh Sultan. Shalat ‘Id dilaksanakan sesuai dengan perhitungan Dahlan sedangkan grebeg dilaksanakan sesuai dengan kalender aboge.[16]
Setting Sosial Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan
Situasi dan kondisi nyata di mana seorang tokoh hidup serta dengan siapa tokoh tersebut melakukan interaksi, tentu sangat berpengaruh terhadap konsep dan pemikirannya, termasuk juga yang terjadi pada Ahmad Dahlan. Dijelaskan oleh Deliar Noer, bahwa hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan (stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini diperparah dengan politik kolonial Belanda yang sangat merugikan bangsa Indonesia. Melihat kondisi yang menimpa umat saat itu, memunculkan ide dan gagasan para pejuang dan guru bangsa kita. Kegelisahan membuat Dahlan dan para tokoh pendidikan lainnya semisal K.H. Hasyim ‘Asy’ari, Abdullah Ahmad, Ki Hajar Dewantara, dan lainnya merupakan bentuk jawaban dari ketidak puasan mereka terhadap kondisi bangsa yang terjajah.
Bagi Dahlan, Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungan pertamanya ke Mekah. Kemudian ide tersebut lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua. Terutama setelah Dahlan melakukan diskusi dengan Muhammad Rasyid Ridha. Hal ini berarti, sebagaimana disimpulkan oleh Noer, bahwa kedua kunjungannya tersebut merupakan proses terjadinya kontak intelektualnya –baik secara langsung maupun tak langsung– dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah pada awal abad ke-20.[17]
Secara umum, menurut Nizar, ide-ide pembaharuan Dahlan dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi, yaitu; Pertama, berupaya memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari khurafat, tahayul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam aqidah dan ibadah umat Islam. Kedua, mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.[18]
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Tahun 1656, dapat dipandang sebagai titik awal bangsa Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di Indonesia. Awal keberadaannya di Indonesia, Belanda sama sekali tidak menaruh perhatian pada bidang pendidikan. Tiga abad kemudian, barulah mereka mulai merasakan perlunya mendirikan sekolah, tepatnya pada tahun 1854 dan hanya dikhususkan pada anak-anak Belanda. Kemudian baru disusul dengan didirikannya sekolah-sekolah desa, yang lulusannya dapat dimanfaatkan sebagai buruh pada perkebunan Belanda. Adapun yang pandai membaca dan menulis, dapat diangkat sebagai juru tulis di kantor-kantor pemerintahan Hindia-Belanda.[19] Mengutip tulisan Siregeg, Khozin menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Belanda, pendidikan di Indonesia terbagi menjadi empat sistem persekolahan.
Pertama, sekolah Eropa yaitu sekolah yang menampung anak-anak Hindia Belanda. Kurikulum di sekolah ini identik dengan kurikulum sekolah yang sama di negeri Belanda. Kedua, sekolah Barat adalah sekolah yang menampung anak-anak yang berwarga negara Belanda. Tujuan pendidikan di sekolah ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Bahasa pengantar di sekolah ini adalah bahasa Belanda. Ketiga, sekolah vernakuler. Kurikulum di sekolah ini disusun oleh Belanda. Tujuan pendidika di sekolah ini hampir sama dengan sekolah Barat, bahasa pengantarnya adalah bahasa daerah. Keempat, sekolah pribumi. Yaitu sistem persekolahan yang ada di luar kontrol pemerintah Hindia Belanda. Sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga agama termasuk dalam golongan persekolahan yang terakhir ini”.
Sistem persekolahan sebagaimana di atas, tentu akan mempertajam jurang pemisah antara penduduk pribumi dengan orang-orang Belanda sebagai penjajah. Dilihat dari perspektif Islam, maka sistem pendidikan yang demikian disamping membawa pengaruh positif, unsur-unsur negatifnya bagi umat Islam sudah barang tentu akan lebih dominan, terutama dampak sekularisme. Jika sistem pendidikan ini tetap dipertahankan, maka tidak menutup kemungkinan umat Islam akan semakin jauh terseret dalam proses sekularisasi. Karena budaya Barat, di samping berbeda dengan kepribadian penduduk pribumiyang religius khususnya umat Islam, juga sangat mungkin membawa misi kristenisasi.
Lebih lanjut tentang ciri-ciri sistem pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda, Selo Sumarjan, sebagaimana dikutip oleh Khozin, menyatakan sebagai berikut:
“Belanda membawa ke Indonesia suatu jenis pendidikan baru yang dalam banyak hal berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan pribumi. Perbedaan-perbedaan yang pokok adalah: (1) pendidikan yang dibiayai oleh Belanda di sekolah-sekolah umum netral terhadap agama, (2) tidak terlalu memikirkan bagaimana caranya hidup secara harmonis dalam dunia, tetapi terutama menekankan tentang bagaimana memperoleh penghidupan, (3) diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok etnis di dalam masyarakat, (4)  juga diselenggarakan untuk mempertahankan perbedaan kelas dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan orang Jawa, (5) sebagian besar diarahkan pada pembentukan kelompok elit, masyarakat yang bisa dipergunakan untuk mempertahankan supremasi politik dan ekonomi Belanda di negeri jajahannya, dan dengan demikian benar-benar mencerminkan kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda”.[20]
Menurut Steenbrink, pada dasawarsa terakhir abad ke-19, di Indonesia telah dimulai sistem pendidikan liberal yang dikembangkan oleh pemerintah Belanda. Pada masa itu pendidikan tersebut juga diperuntukkan bagi sekelompok kecil orang Indonesia (terutama kelompok elit), sehingga sejak tahun 1870 mulai tersebar jenis pendidikan rakyat, yang berarti juga bagi umat Islam. Perluasan pendidikan ke pedesaan yang diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat, baru dilaksanakan pada awal abad ke-20. Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam tardisional, bukan saja dari segi metode, tetapi juga dari segi substansi dan tujuannya. Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial menekankan pada aspek pengetahuan umum dan ketrampilan duniawi, sedangkan lembaga-lembaga pendidikan Islam lebih menekankan pada aspek pengetahuan dan ketrampilan agama.[21]
Menghadapi kenyataan demikian, Ahmad Dahlan mencoba mengantisipasi persoalan-persoalan kemasyarakatan di sekelilingnya. Identifikasi masalah yang dihadapi umat Islam pada waktu itu, dan dipandang perlu segera mendapat jawaban adalah persoalan-persoalan sebagai berikut:
Kemunduran umat Islam yang berpusat di pondok pesantren karena terisolasi dari perkembangan ilmu dan masyarakat modern.
Timbulnya sekolah-sekolah kolonial yang sekular, dan a-nasional yang mengancam kehidupan batin para pemuda, dari agama dan kebudayaan bangsanya.
Sistem pemerintah kolonial yang sedang kuat-kuatnya mencengkeram kuku-kukunya yang beracun ke dalam tubuh masyarakat Indonesia.[22]
Untuk mensosialisasikan gagasan-gagasan pembaharuannya terutama dalam bidang pendidikan, Ahmad Dahlan mencoba memulainya dengan membimbing beberapa orang keluarga dekatnya serta beberapa temannya. Tampat yang semula digunakan untuk menyampaikan gagasan-gagasannya adalah pengajian-pengajian dan tempat-tempat lain di mana ia memberikan pelajaran. Setelah upayanya dalam menyampaikan benih-benih pembaharuan membuahkan hasil, maka ia merasa perlu membuat wadah untuk menampung ajaran-ajarannya yang semakin berkembang itu dalam sebuah wadah; yaitu Muhammadiyah. Langkah ini merupakan upaya merintis gerakannya dalam bentuk yang lebih kongkrit.
H.M. Mulyadi dalam “Dunia Baru Islam” tulisan L. Stoddard, mengatakan bahwa karena :
“...didorong oleh sebab-sebab dan suasana yang ada di sekelilingnya ketika itu. Ia mulai menginsafkan beberapa keluarganya sendiri dan teman sejawatnya yang terdekat di Yogjakarta, dengan mengajak berfikir secara baru dalam pengajian-pengajian agama dan cjeramah-cjeramah. Ia dirikan juga sekolah-sekolah yang dalamnja diajarkan jiwa Islam murni ke dalam jiwa-nya angkatan muda yang bersekolah di sekolah-sekolah umum ditekankanja untuk perlu menanamkan jiwa tauhid dalam rangka memperhebat kepribadianja.”[23]
Dari peristiwa sejarah ini, Khozin menyimpulkan beberapa hal: (1) pendidikan Muhammadiyah –dikelola oleh K.H. Ahmad Dahlan– lahir pertama kali dalam suasana pendidikan umat yang memprihatinkan, terutama pendangkalan nilai-nilai Islam dalam suatu proses penjajahan yang mengarah ke sekularisasi, (2) sebagai cikal bakal pendidikan Muhammadiyah adalah pengajian-pengajian dengan suasana kesederhanaan yang langsung dibimbing oleh Ahmad Dahlan, (3) untuk mewujudkan cita-cita pembaharuan dalam pendidikan ini, Ahmad Dahlan dengan kesungguhannya dan secara terus menerus menanamkan benih-benih pembaharuannya, baik melalui sekolah di mana ia mengajar maupun melalui ceramah-ceramahnya.[24]
Untuk mewujudkan ide pembaharuan di dalam bidang pendidikan, Dahlan merasa perlu mendirikan lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisional secara integral.[25]
Komitmen Dahlan terhadap pendidikan agama sedemikian kuat. Oleh karena itu, di antara faktor utama yang mendorongnya masuk organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1909 adalah untuk mendapatkan peluang memberikan pengajaran agama kepada para anggotanya, selain juga agar bisa membuka kesempatan memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemerintah. Pendekatan ini dilakukan karena para anggota organisasi Boedi Oetomo umumnya bekerja di sekolah dan kantor pemerintah waktu itu.[26]
Pada perkembangan berikutnya, Ahmad Dahlan mencoba mendirikan sebuah madrasah dengan memakai bahasa Arab sebagai pengantar dalam lingkungan kraton Yogyakarta, namun usaha ini gagal. Selanjutnya atas dorongan para pengurus Boedi Oetomo[27], pada tanggal 1 Desember 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah sekolah dasar di lingkungan kraton Yogyakarta. Di sekolah ini pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan sekolah Islam swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah dan kemudian mendapatkan subsidi tersebut.[28] Tidak berpuas diri mendirikan satu sekolah, Dahlan juga mendirikan sekolah yang sama di kampung Yogya yang lain.[29]
Setelah membentuk perkumpulan Muhammadiyah, pada tanggal 18 Nopember 1912, pendidikan yang dirintis oleh Dahlan berkembang dengan pesatnya. Untuk memenuhi tenaga pengajar pada sekolah-sekolah tersebut, di samping guru yang berasal dari sekolah pemerintah, juga dari sekolah calon guru yang didirikan oleh Dahlan sendiri pada 8 Desember 1921[30], yaitu Kweek School Muhammadiyah (Madrasah Mu’allimin) dan Kweek Istri Muhammadiyah (Madrasah Mu’allimat).[31]
Sepuluh tahun setelah berdirinya Muhammadiyah, perkembangan pendidikan yang dipelopori oleh Ahmad Dahlan berkembang cukup pesat. Di Yogyakarta sendiri, pada tahun 1923 telah berdiri empat sekolah dasar Muhammadiyah, dan sudah mulai mempersiapkan mendirikan sekolah HIS.[32] Tidak hanya itu, Dahlan juga memperluas ide pembaharuan pendidikannya melalui sekolah-sekolah yang didirikan di berbagai daerah di luar Yogyakarta. Dalam catatan Sucipto, pada tahun 1922, Muhammadiyah sudah memiliki 9 sekolah dengan 73 orang guru dan 1019 siswa. Sekolah-sekolah tersebut diantaranya adalah opelding school di Magelang, Kweeck School (Purworejo), Normal School (Blitar), NBS (Bandung), Algemeene School (Surabaya), Hoogers Kweeck School (Purworejo).[33]
Dalam menyebarkan ide-ide pembaharuannya, melalui pendirian berbagai lembaga pendidikan, K.H. Ahmad Dahlan bukan tanpa kendala, pada saat mendirikan sekolah rakyat Muhammadiyah di Suronatan Yogyakarta yang kemudian terkenal dengan nama Standar School atau sekolah standar, ia mengalami kekurangan biaya, sehingga harus mengikhlaskan barang-barang rumah tangganya dilelang guna meneruskan pendirian sekolah tersebut.[34]
Demikian sebagian tentang perjalanan K.H. Ahmad Dahlan dalam usaha mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikannya. Karena menurut Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berfikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan.[35] Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memeta dinamika kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci bagi meningkatkan kemajuan umat Islam adalah dengan kembali pada al-Qur’an dan hadits, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam yang komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan –menurut Dahlan– hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk).[36] Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai ‘abd Allah dan khalifah fi al-ardh.[37]
Pada pembahasan berikutnya, penulis akan uraikan mengenai konsep pendidikan Ahmad Dahlan yang dituangkan dalam berbagai lembaga pendidikan yang dibangunnya. Dalam hal penelusuran mengenai konsep pendidikan Ahmad Dahlan ini tentu mengalami beberapa kendala –kalau tidak boleh disebut kesulitan– mengingat Dahlan bukanlah seorang teoritis yang menuangkan ide-ide pembaharuan pendidikannya melalui tulisan. Dahlan adalah seorang pragmatikus. Murid dari ulama Syafi’i, Syaikh Ahmad Khatib yang terkenal di Mekkah ini, mengajarkan semboyan kepada murid-muridnya: Sedikit bicara banyak bekerja.[38] Maka, tidak satupun konsep pendidikan yang ia tuangkan dalam tulisan baik berupa buku maupun catatan lainnya.
Tujuan Pendidikan
Ahmad Dahlan tidak secara khusus menyebutkan tujuan pendidikan. Tetapi dari pernyataan yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan, tujuan pendidikanAhmad Dahlan adalah : “ Dadijo Kijahi sing kemadjoean, adja kesel anggonmoenjamboet gawe kanggo Moehammadijah”. Dalam pernyataan sederhana tersebut, terdapat beberapa hal penting, yaitu “kijahi”, “kemadjoean” dan “njamboet gawe kanggo Moehammadijah”.[39]
Istilah Kiai merupakan sosok yang sangat menguasai ilmu agama. Dalam masyarakat Jawa, seorang Kiai, adalah figur yang shalih, berakhlaq mulia dan menguasai ilmu agama secara mendalam. Istilah kemajuan secara khusus menunjuk kepada kemoderenan sebagai lawan dari kekolotan dan konservatisme. Pada masa Ahmad Dahlan kemajuan sering diidentikkan dengan penguasaan ilmu-ilmu umum atau intelektualitas dan kemajuan secara material. Sedangkan kata “njamboet gawe kanggo Moehammadijah” merupakan manifestasi dari keteguhan dan komitmen untuk membantu dan mencurahkan pikiran dan tenaga untuk kemajuan umat Islam, pada khususnya, dan kemajuan masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan pemahaman tersebut, Amir Hamzah menyimpulkan tujuan pendidikan menurut Ahmad Dahlan adalah untuk membentuk manusia yang :
‘Alim dalam ilmu agama;
Berpandangan luas, dengan memiliki pengetahuan umum;
Siap berjuang, mengabdi untuk Muhammadiyah dalam menyantuni nilai- nilai keutamaan pada masyarakat.[40] 
Rumusan tujuan pendidikan tersebut merupakan “pembaharuan” dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama. Di dalam sistem pendidikan pesantren tidak diajarkan sama sekali pelajaran dan pengetahuan umum serta penggunaan huruf latin. Semua kitab dan tulisan yang diajarkan menggunakan bahasa dan huruf Arab. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan “sekuler” yang di dalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Pelajaran di sekolah ini menggunakan huruf latin. Akibat dualisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia: lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan lulusan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang “sempurna” adalah melahirkan individu yang “utuh” : menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spiritual serta dunia dan akhirat. Bagi Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spiritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama ekstra kurikuler diKweekschool Jetis dan Osvia Magelang serta mendirikan madrasah Muhammadiyah yang didalamnya mengajarkan ilmu agama dan ilmu umum sekaligus.

Materi Pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi :
Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik  berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yangutuh yang berkeseimbangan antara perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinandan intelek, antara perasaan dengan akal pikiran serta antara dunia dan akhirat.
Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dankeinginan hidup bermasyarakat.[41]
Meskipun demikian, Ahmad Dahlan belum memiliki konsep kurikulum dan materi pelajaran yang baku. Muatan kurikulum pelajaran agama menurut Ahmad Dahlan bisa dilihat dari materi pelajaran agama yang diajarkannya dalam pengajian- pengajian di madrasah dan pondok Muhammadiyah. K.R.H Hadjid, salah seorang murid Ahmad Dahlan, mengumpulkan ajaran gurunya ke dalam sebuah buku berjudul “Ajaran Ahmad Dahlan dan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran” yang merupakan catatan pribadinya selama mengikuti pelajaran agama. Kelompok ayat al-Qur’an yang sering dan berulang-ulang diajarkan Dahlan antara lain adalah:
Membersihkan diri sendiri
Menggempur hawa nafsu mencintai harta benda
Orang yang mendustakan agama
Apakah artinya agama itu?
Islam dan sosialisme
Suratul ‘ashri
Iman/kepercayaan
Amal sholeh
Watawa shau bil haqqi
Watawa shau bis shobri
Al-djihad
Wa ana minal muslimin
Al-birru
Al-Qori’ah ayat 6
As-Shaf ayat 3
Menjaga diri
Al-Hadid ayat 16[42]
Dari pelajaran tersebut dapat dikelompokkan bahwa Ahmad Dahlan banyak menyampaikan materi yang berkaitan dengan keimanan, akhlak dan semangat untuk berjuang membela agama dan membantu sesama.
Metode Mengajar
Di dalam menyampaikan ilmu agama, K.H. Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual, melainkan kontekstual. Bagaimana cara ia mengajarkan agama antara lain dijelaskan oleh K.H. Mas Mansur, yang merupakan salah seorang murid dan teman seperjuangannya. Dalam hal ini, K.H. Mas Mansur, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Mu’ti, menyebutkan:
“KHA. Dahlan gemar sekali mengupas tafsir dan pandai pula tentang hal itu. Kalau menafsirkan sebuah ayat, beliau selidiki lebih dahulu dalam tiap-tiap perkataan dalam ayat itu satu demi satu. Beliau lihat kekuatan atau perasaan yang terkandung oleh perkataan itu di dalam ayat yang lain-lain, barulah beliau sesuaikan dengan keadaan hingga keterangan beliau itu hebat dan dalam serta tepat.”[43]

Di samping menggunakan penafsiran yang kontekstual, Ahmad Dahlan berpendapat, bahwa pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan saja atau difahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi. Gagasan Dahlan tentang “pembumian” ajaran al-Qur’an tersebut antara lain tercermin dalam pengajaran surat al-Ma’un –yang dalam perkembangannya melahirkan majlis pembinaan kesejahteraan umat (MPKU).
Dalam hal metode mengajar ini, Ahmad Dahlan memilih menggunakan metode ceramah. Sebagai guru, ia masih merupakan sumber utama dari proses pembelajaran. Hal ini tentu dapat dipahami, mengingat kondisi saat itu, selain juga masih terbawa metode pendidikan ala pesantren. Seperti kita ketahui, dalam pesantren saat itu, pembelajaran yang menggunakan metode bandongan dan sorogan, sistem pengajarannya berjalan satu arah. Dari kyai kepada santri, di sini kyai merupakan satu-satunya sumber belajar, selain kitab-kitab yang dipelajarai tentunya. Dalam sistem dan metode semacam ini, hampir pasti tidak ada unsur dialogis (baca: tanya jawab dan diskusi).
Namun demikian, sekalipun metode pembelajarannya nir-diskusi, namun Dahlan menerapkan pola “learning by doing” (belajar sambil melakukan). Ilmu yang telah diajarkan harus diamalkan, karena ilmu dan amal adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Selanjutnya, dilihat dari sistem penyelenggaraannya, sekolah yang diselenggarakan oleh Ahmad Dahlan meniru sistem persekolahan model Belanda. Dalam mengajar, Dahlan menggunakan kapur, papan tulis, meja, kursi dan peralatan lain sebagaimana lazimnya sekolah Belanda. Berkaitan dengan langkah tersebut, Dahlan berpendapat bahwa untuk memajukan pendidikan diperlukan cara-cara sebagaimana yang digunakan dalam sekolah yang maju. Meniru model penyelenggaraan sekolah tidak berarti mengabaikan ajaran agama sebab penyelenggaraan sistem pendidikan merupakan wilayah muamalah yang harus ditentukan dan dikembangkan sendiri.[44]
Catatan Kritis Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Sekalipun tidak dalam formulasi dan rumusan filsafat pendidikan yang eksplisit, K.H. Ahmad Dahlan telah meletakkan landasan bagi lahirnya pendidikan Islam modern di nusantara. Sumbangan Ahmad Dahlan tersebut setidaknya dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, dari aspek filosofis, Dahlan telah meletakkan rumusan tujuan pendidikan yang “utuh”, non-dokotomik, yang menciptakan ulama yang intelek dan intelek yang ulama, yakni individu yang menguasai ilmu agama dan ilmu umum sekaligus. Dalam konsep ini, Dahlan mencoba melakukan islamisasi terhadap pendidikan kolonial Belanda yang sekuler. Desain pendidikan Dahlan ini merupakan terobosan terhadap permasalahan pendidikan pada masa itu yang hanya melahirkan dua kutub inteligensia yang saling bertentangan: kelompok ulama yang hanya menguasai ilmu agama sebagai produk pendidikan pesantren dan kelompok intelektual sebagai produk pendidikan sekolah Belanda.
Kedua, secara kelembagaan K.H. Ahmad Dahlan telah berhasil meletakkan landasan lahirnya lembaga pendidikan Islam modern di Indonesia. Sistem sekolah Islam dan madrasah yang sekarang ini merupakan model lembaga pendidikan Islam yang paling dominan merupakan pengembangan lebih lanjut dari sistem sekolah dan madrasah yang dikembangkan oleh Dahlan.
Ketiga, pada aspek kurikulum, Dahlan telah mewariskan desain kurikulum bagi sekolah Islam dan madrasah, yang merupakan perpaduan apik antara kurikulum di pesantren dan kurikulum pada sekolah umum. Kurikulum yang integralistik ini, bahkan tidak banyak mengalami perubahan dari produk pemikiran Dahlan saat itu, kecuali penyesuaian terhadap kurikulum pemerintah (baca: Kemendiknas). Dalam hal kurikulum ini juga, Dahlan telah berhasil memasukkan pendidikan agama ke dalam lembaga pendidikan umum, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta non-agama. Walaupun dewasa ini banyak kajian dan diskusi tentang minimnya pendidikan agama pada sekolah umum, yang dituduh sebagai sumber rendahnya akhlak peserta didik, namun “jihad” yang dilakukan oleh Dahlan ketika berusaha untuk mengajarkan agama di sekolah umum pada lebih kurang seratus tahun lalu itu pantas mendapat pujian. Usaha Dahlan waktu itu paling tidak telah memberikan porsi –walau dirasa sangat kurang– pendidikan agama untuk diajarkan pada sekolah umum non agama.
Gagasan K.H. Ahmad Dahlan dalam pendidikan Islam ini, oleh Abdul Mu’ti, dianggap telah memberikan kontribusi dalam memecahkan masalah umat dan bangsa.[45]
Meskipun demikian, gagasan Ahmad Dahlan memadukan dua kutub Barat-Islam atau sistem pendidikan sekolah-pesantren ke dalam satu lembaga pendidikan sekolah atau madrasah tidak luput dari kelemahan. Perpaduan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk kurikulum, dalam perkembangannya masing-masing tetap berdiri sendiri-sendiri. Materi agama dan ilmu pengetahuan umum belum bisa (untuk tidak mengatakan tidak bisa) padu (integral/menyatu). Apalagi sekarang, ketika kelulusan peserta didik hanya ditentukan oleh hasil ujian nasional yang hanya terdiri dari mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika untuk tingkat Dasar, Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris dan IPA untuk tingkat SMP/MTs, Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Fisika, Biologi, dan Kimia untuk tingka SMA/MA jurusan IPA dan Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Ekonomi, Geografi dan Sosiologi untuk SMA/MA jurusan IPS, serta hampir sama untuk jurusan Bahasa dan SMK. Pada kondisi ini, maka pendidikan Agama tidak ubahnya hanya pelengkap saja.
Merespon model pendidikan Islam semacam ini, di mana masih ada jurang pemisah antara ilmu agama dengan ilmu umum, Prof. Abdurrahman Mas’ud menawarkan model pendidikan non-dikotomik. Menurut Rahman, pendidikan Islam yang masih membedakan antara ulumuddin dan ulumuddunya, belum layak disebut sebagai pendidikan Islam yang kaffah atau komprehensif.[46]
Kesimpulan
K.H. Ahmad Dahlan, yang merupakan tokoh pendiri organisasi Muhammadiyah merupakan penggagas dan peletak batu pertama bagi modernisasi pendidikan Islam. Modernisasi pendidikan Islam yang dimulai dengan memasukkan pengajaran agama pada sekolah umum, kemudian mendirikan sekolah Islam yang memadukan antara pelajaran umum seperti yang diajarakan pada sekolah Belanda dengan pelajaran agama seperti yang diajarkan pada pendidikan pesantren dengan menggunakan model pembelajaran ala sekolah kolonial Belanda. Meskipun pada awalnya banyak pertentangan, namun model ini (baca: sekolah Islam atau madrasah), sekarang merupakan format pendidikan “baku” dalam dunia pendidikan Islam.
Pembaharuan pendidikan Islam Dahlan juga terlihat pada aspek filosofis tujuan pendidikan, materi dan metode pendidikan.
Tulisan maupun kajian dalam tulisan ini tentu masih jauh dari kata sempurna, namun semoga kajian terhadap pemikiran salah satu tokoh pendidikan Islam di Indonesia awal abad ke-19 ini memperkaya wacana pemikiran kita tentang pendidikan Islam, kemudian menjadi referensi bagi penyempurnaan dan kemajuan pendidikan Islam, khususnya pendidikan Islam di Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohamad, Menabur Benih Sekolah Unggul di Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009.
Arifin, M.T., Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta: Pustaka, 1987.
Dhofier, Zamakhsjari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1982.
Djamaluddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Hadjid, K.R.H., Ajaran K.H.A Dahlan dengan 17 Kelompok ayat-ayat al-Qur’an, Semarang: PWM Jawa Tengah, 1996.
Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi, (Malang: UMM Press, 2006), hal. 172.
Ma’arif, ­Ahmad Syafi’i, Peta Bumi Intelektual Muslim di Indonesia, Bandung: Mizan, 1994.
Mohammad, Herry, dkk., Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
Mu’ti, Abdul, Konsep Pendidikan Kiai Haji Ahmad Dahlan, dalam Abdul Kholiq, dkk.,  Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik & Kontemporer, Semarang: FT. IAIN Walisongo, 1999.
Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim, Yogyakarta: Sipress, 1993.
Nizar, Samsul,  Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996.
Pasha, Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam Dalam Perspektif Ideologis dan Historis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Rahman, Abdul, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2007.
Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES,1994.
Stoddard, L., Dunia Baru Islam, Jakarta: Panitia Penerbit, 1966.
Sucipto, Hery, K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, Jakarta: Best Media Utama, 2010.
Wirjosukarto, Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islamm Jember: Mutiara Offset, 1985.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
Yusuf, M. Yunan, dkk., Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.




[1] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES,1994), hal. 51  , lihat juga Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 50
[2] Mohamad Ali, Menabur Benih Sekolah Unggul di Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009), hal. 101
[3] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hal. 85.
[4] Zamakhsjari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 41
[5] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: Sipress, 1993), hal. 63.
[6] M. Yunan Yusuf, dkk., Ensiklopedi Muhammadiyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 74-75.  Menurut Yunus, Darwis menunaikan haji pada tahun 1890, di saat usianya mencapai 22 tahun, dan di Mekkah ia hanya menetap selama satu tahun saja, lihat  Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hal. 267.
[7] Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam Dalam Perspektif Ideologis dan Historis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 91-92
[8] M. Yunan Yusuf, dkk., Ensiklopedi Muhammadiyah, hal. 75. 
[9] Abdul Mu’ti, Konsep Pendidikan Kiai Haji Ahmad Dahlan, dalam Abdul Kholiq, dkk.,  Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik & Kontemporer, (Semarang: FT. IAIN Walisongo, 1999), hal. 200.
[10] Ada juga yang berpendapat K.H. Ahmad Dahlan menetap di Mekkah pada kunjungan ibadah haji yang kedua ini selama dua tahun, lihat Deliar Noer, Gerakan Modern, hal. 85
[11] Abdul Mu’ti, Konsep Pendidikan,  hal. 200.
[12] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, hal. 63.
[13] Abdul Mu’ti, Konsep Pendidikan
[14] Samsul Nizar,  Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 102.
[15] Samsul Nizar,  Filsafat Pendidikan Islam, hal. 102.
[16] Abdul Mu’ti, Konsep Pendidikan, hal. 201.
[17] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hal. 316-319.
[18] Samsul Nizar,  Filsafat Pendidikan Islam, hal. 104.
[19] Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi, (Malang: UMM Press, 2006), hal. 172.
[20] Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, hal. 174.
[21] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam, hal. 24.
[22] Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam , hal. 175.
[23] L. Stoddard, Dunia Baru Islam, (Jakarta: Panitia Penerbit, 1966), hal. 307.
[24] Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam , hal. 176.
[25] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam, hal. 50-58.
[26] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hal. 86.
[27] Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hal. 10. Lihat juga Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hal. 86.
[28] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam, hal. 52.
[29] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam, hal. 54.
[30] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam, hal. 55.
[31] Hery Sucipto, K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, Jakarta: Best Media Utama, 2010), hal. 113.
[32] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, hal. 54.
[33] Hery Sucipto, K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, hal. 73.
[34] Djamaluddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 91.
[35] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektual Muslim di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994, 1994), hal. 221.
[36] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, hal. 66.
[37] Lihat Q.S. 2: 30; 6: 102 dan 165; 51: 56.
[38] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, hal. 52.
[39] Abdul Mu’ti, Konsep Pendidikan, hal. 202.
[40] Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islamm (Jember: Mutiara Offset, 1985), hal. 92.
[41] M.T. Arifin., Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka, 1987), hal. 33-34.
[42] Lihat K.R.H. Hadjid, Ajaran K.H.A Dahlan dengan 17 Kelompok ayat-ayat al-Qur’an, (Semarang: PWM Jawa Tengah, 1996). K.R.H. Hadjid adalah salah satu murid K.H. Ahmad Dahlan dan kemudian menjadi guru pada Madrasah Muhammadiyah.
[43] Abdul Mu’ti, Konsep Pendidikan, hal. 205.
[44] Abdul Mu’ti, Konsep Pendidikan, hal. 206.
[45] Abdul Mu’ti, Konsep Pendidikan, hal. 209.
[46] Baca Abdul Rahman, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. xii.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar