PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
KH. AHMAD DAHLAN
Pendahuluan
Dari sudut pandang
sejarah, hampir semua peneliti pendidikan maupun Islam sepakat bahwa
Muhammadiyah merupakan pioner pembaharuan pendidikan Islam yang cukup
berpengaruh di Indonesia.[1] Ahmad Dahlan dan generasi awal Muhammadiyah
pada awal abad ke-20 berhasil menyerukan pembaharuan pendidikan Islam yang
diimplementasikan dalam bentuk pendirian lembaga pendidikan baik yang berbentuk
pesantren, madrasah ataupun sekolah. Seruan modernisasi pendidikan ini menggema
di mana-mana, menembus sampai luar wilayah Yogyakarta sebagai basis gerakannya.
Bahkan, sampai ke berbagai kota dan pelosok desa di tanah air.[2] Dan sekarang ini, berbagai jenjang
pendidikan, mulai dari pendidikan pra sekolah, jenjang pendidikan dasar,
menengah hingga pendidikan tinggi, telah banyak dimiliki oleh organisasi
Muhammadiyah. Bahkan jumlah pendidikan tinggi yang dikelola oleh Muhammadiyah
saat ini, oleh organisasi yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan ini diklaim sebagai
yang terbesar di negeri ini, yang jumlahnya melebihi sekolah yang dikelola oleh
pemerintah.
Membahas tentang
pendidikan Muhammadiyah sebagai salah satu pembaharu pendidikan Islam di
Indonesia tentu tidak bisa lepas dari pemikiran pendiri organisasi ini. Tokoh utama
periode awal berdirinya Muhammadiyah tentu saja adalah K.H. Ahmad Dahlan;
penggagas dan pendiri organisasi Muhammadiyah yang karena perjuangan dan
kepeloporannya dalam memajukan bangsa dan pendidikan nasional dianugerahi gelar
Pahlawan Nasional.
Tulisan ini akan
berusaha menggali pemikiran pembaharuan pendidikan Islam dari K.H. Ahmad
Dahlan. Secara sistematis, dengan menggunakan pendekatan historis dengan
mengembangkan telaah kritis terhadap literatur sejarah yang ditulis oleh para
peneliti sejarah nasional, terutama dalam bidang pendidikan, penulis akan
membahas pemikiran pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan dalam tiga bagian. Bagian
pertama berisi tentang biografi dan setting sosial pemikiran pendidikan K.H.
Ahmad Dahlan, kajian kedua, akan diuraikan tentang pemikiran pendidikan K.H.
Ahmad Dahlan, dan pada bagian akhir merupaka telaah kritis atas pemikiran
pendidikan K.H. Ahmad Dahlan.
Biografi K.H.
Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir
pada tahun 1868 di kampung Kauman (Yogyakarta) dan meninggal pada tanggal 25
Februati 1923. Nama kecil Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia berasal dari
keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ia merupakan anak
kelima dari K.H. Abu Bakar, yang merupakan seorang imam dan khatib masjid besar
Kraton Yohyakarta. Ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah
menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.[3]
Semenjak kecil
Darwis diasuh dan dididik sebagai putera kyai. Pendidikan dasarnya dimulai
dengan belajar membaca, menulis, mengaji al-Qur’an, dan kitab-kitab agama.
Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, seperti
umumnya santri pada waktu itu, setelah memiliki dasar-dasar pendidikan agama
Islam, Darwis menjadi “musafir pencari ilmu”[4] yang mengembara dari pesantren satu ke
pesantren lainnya untuk memperdalam ilmu agama. Beberapa kyai besar waktu itu
yang di mana Darwis pernah memperdalam ilmunya antara lain adalah; K.H.
Muhammad Saleh Darat, seorang ulama terkenal yang tinggal di kampung Darat,
Semarang. Kepada beliau, Darwis menimba ilmu fiqh. Di pesantren mbah Saleh
Darat itu pula K.H. Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri Jam’iyyah Nahdhatul Ulama
(NU) pernah belajar. Selanjutnya Darwis juga belajar kepada K.H. Muhsin (ilmu
Nahwu), K.H.R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh
(ilmu Hadits)[5], Syekh Amin dan Sayyid Bakri (ilmu qira’at
al-Qur’an), serta beberapa guru lainnya. Karena ketekunan dan kecerdasannya,
dalam usia yang relatif masih muda, Darwis telah mampu menguasai berbagai
disiplin ilmu keislaman, bahkan ia selalu merasa tidak puas dengan apa yang
telah dipelajarinya sehingga terus berupaya untuk lebih mendalaminya.
Ketika Muhammad
Darwis berumur 15 tahun (1883), dengan dibiayai oleh kakak iparnya, K.H. Soleh,
ia berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus
melanjutkan studinya dan bemukim di Mekah selama lima tahun.[6] Dalam studinya tersebut Muhammad Darwis
banyak belajar ilmu agama dari para ulama terkenal. Diantara gurunya waktu itu
adalah Sayyid Bakri Syata’, salah seorang mufti madzhab Syafi’i yang bermukim
di Mekkah. Bahkan Sayyid Bakri Syata’–lah yang mengganti nama Muhammad Darwis
menjadi Ahmad Dahlan.[7] Sepulang dari ibadah haji Muhammad Darwis
yang telah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah binti
H. Fadhil, dan dikaruniai putra: Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Siti
Aisyah, Irfan Dahlan, dan Siti Zuharah.[8]
Berbekal kedalaman
ilmu agama yang telah dikuasainya, K.H. Ahmad Dahlan kemudian mulai mengajar
mengaji di kampungnya dan beberapa kali menjadi badal (pengganti) ayahnya
menjadi khatib bahkan kaena kemampuannya, K.H. Ahmad Dahlan kemudian diangkat
menjadi salah seorang khatib di masjid Besar Kasultanan Yogyakarta.[9]
Setelah beberapa
tahun lamanya bekerja sebagai khatib dan berdagang batik di beberapa daerah,
tepatnya tahun 1902 (34 th), K.H. Ahmad Dahlan mendapatkan kesempatan untuk
menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Pada kunjungan yang kedua ini, Dahlan
menetap selama satu setengah tahun dengan tujuan untuk kembali memperdalam
ilmunya[10]. Ketika mukim yang kedua kali ini,
memperdalam ilmu fiqh kepada Kyai Machfudz Termas dan Sayid Babusyel, ilmu
Hadits kepada Mufti Syafi’i, ilmu falaq kepada Kyai Asy’ari Bacean dan ilmu
qira’ah kepada syekh Ali al-Musri Makkah[11]. Selain itu, K.H. Ahmad Dahlan juga banyak
melakukan mudzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di
sana, diantaranya adalah; Syeikh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kyai Nawawi
al-Bantani, Kyai Mas Abdullah dan Kyai Faqih Kembang.[12] Pada saat itu pula, K.H. Ahmad Dahlan mulai
berkenalan dengan ide-ide pembaharuan melalui penganalisaan kitab-kitab yang
ditulis oleh pembaharu Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah,
Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, dan lain sebagainya.
Dahlan semakin
memahami ide pembaharuan Islam setelah melakukan dialog dengan Syeikh Muhammad
Rasyid Ridha dari Mesir, selain juga membaca majalah al-Manar dan al-Urwat
al-Wutsqa. Adapun kitab-kitab yang menjadi bahan kajian K.H. Ahmad Dahlan
selanjutnya adalah[13];
At-Tauhid (Muhammad Abduh)
Tafsir Juz Amma (Muhammad Abduh)
Al- Islam wal
Nasriyyah (Muhammad Abduh)
Fi’il Bid’ah (Ibn Taimiyah)
Izhar al-Haqq (Rahmat Allah al-Hindi)
Kanz al-‘Ulum
Da’irah
al-Ma’arif (Farid Wajdi)
Tafshil
al-Nasyatin Tahshil al-Sa’adatain
Matan al-Hikam (‘Atha’ Allah)
Al-Tawassul
wa’l Wasilah (Ibn Taimiyah)
Al-Qashaid
al-Aththasiyyah (‘Abd
al-Aththas)
Ide pembaharuan yang
berkembang di Timur Tengah sangat menarik hati K.H. Ahmad Dahlan, terutama bila
melihat realita dinamika umat Islam Indonesia yang cukup stagnan. Sehingga,
sepulangnya ke tanah air, ia sangat aktif menyebarkan gagasan pembaharuan ke
berbagai daerah. Sambil berdagang batik K.H. Ahmad Dahlan melakukan tabligh dan
diskusi keagamaan. Kemudian, atas desakan para muridnya dan beberapa anggota
Boedi Oetomo, maka K.H. Ahmad Dahlan merasa perlu untuk merealisasikan ide
pembaharuannya melalui sebuah organisasi keagamaan yang permanen. Maka
didirikanlah organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912 di
Yogyakarta. Tujuan organisasi ini adalah “menyebarkan pengajaran Rasulullah
kepada penduduk bumiputera dan memajukan hal agama Islam kepada
anggota-anggotanya”. [14]
Untuk mencapai
maksud ini, Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan (tingkat dasar sampai
perguruan tinggi), mengadakan rapat-rapat, dan tabligh, mendirikan badan wakaf
dan masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur, surat kabar dan majalah.
Sementara untuk menumbuhkan semangat patriotisme para anggotanya, organisasi
ini membentuk suatu wadah bagi para pemudanya melalui Hizbul Wathan, untuk
kaum perempuan dibentuk ‘Aisyiyah. Untuk meminimalisir pertikaian antar umat
Islam dalam persoalan khilafiyah, Muhammadiyah membentuk Majlis
Tarjih.[15]
Ahmad Dahlan
adalah seorang yang sangat berani. Bagi dia, kebenaran harus tetap dilaksanakan
dan ditegakkan, sekalipun harus berhadapan dengan kekuasaan. Hal ini, menurut
Abdul Mu’ti, dibuktikan dalam dua hal. Pertama, kiblat masjid Besar
Kasultanan yang menurut Dahlan tidak sama persis dengan perhitungan falaq, maka
Dahlan kemudian mengundang para khatib dan penghulu untuk melakukan diskusi
tentang kiblat masjid Besar tersebut, yang sekalipun tidak dihadiri oleh para khatib,
tetapi kemudian banyak diikuti oleh kalangan muda Kauman yang kemudian membuat
garis-garis shaf menurut perhitungan falaq yang Dahlan lakukan. Kedua, adalah
kasus perbedaan penentuan tanggal 1 Syawwal antara perhitungan falaq dengan
aboge. K.H. Ahmad Dahlan dengan diantar oleh Kanjeng Penghulu memberanikan diri
menghadap Kanjeng Sultan dan menyampaikan perhitungan falaqnya. Gagasan K.H.
Ahmad Dahlan diterima oleh Sultan. Shalat ‘Id dilaksanakan sesuai dengan
perhitungan Dahlan sedangkan grebeg dilaksanakan sesuai dengan kalender aboge.[16]
Setting Sosial
Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan
Situasi dan
kondisi nyata di mana seorang tokoh hidup serta dengan siapa tokoh tersebut
melakukan interaksi, tentu sangat berpengaruh terhadap konsep dan pemikirannya,
termasuk juga yang terjadi pada Ahmad Dahlan. Dijelaskan oleh Deliar Noer,
bahwa hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap
situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan
(stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini diperparah dengan
politik kolonial Belanda yang sangat merugikan bangsa Indonesia. Melihat
kondisi yang menimpa umat saat itu, memunculkan ide dan gagasan para pejuang
dan guru bangsa kita. Kegelisahan membuat Dahlan dan para tokoh pendidikan lainnya
semisal K.H. Hasyim ‘Asy’ari, Abdullah Ahmad, Ki Hajar Dewantara, dan lainnya
merupakan bentuk jawaban dari ketidak puasan mereka terhadap kondisi bangsa
yang terjajah.
Bagi Dahlan, Ide
ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungan pertamanya ke Mekah. Kemudian ide
tersebut lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua. Terutama setelah
Dahlan melakukan diskusi dengan Muhammad Rasyid Ridha. Hal ini berarti,
sebagaimana disimpulkan oleh Noer, bahwa kedua kunjungannya tersebut merupakan
proses terjadinya kontak intelektualnya –baik secara langsung maupun tak langsung–
dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah pada awal abad ke-20.[17]
Secara umum, menurut
Nizar, ide-ide pembaharuan Dahlan dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi,
yaitu; Pertama, berupaya memurnikan (purifikasi) ajaran Islam
dari khurafat, tahayul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam aqidah
dan ibadah umat Islam. Kedua, mengajak umat Islam untuk keluar dari
jaring pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam
dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.[18]
Pemikiran
Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Tahun 1656, dapat
dipandang sebagai titik awal bangsa Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di
Indonesia. Awal keberadaannya di Indonesia, Belanda sama sekali tidak menaruh
perhatian pada bidang pendidikan. Tiga abad kemudian, barulah mereka mulai
merasakan perlunya mendirikan sekolah, tepatnya pada tahun 1854 dan hanya
dikhususkan pada anak-anak Belanda. Kemudian baru disusul dengan didirikannya
sekolah-sekolah desa, yang lulusannya dapat dimanfaatkan sebagai buruh pada
perkebunan Belanda. Adapun yang pandai membaca dan menulis, dapat diangkat
sebagai juru tulis di kantor-kantor pemerintahan Hindia-Belanda.[19] Mengutip tulisan Siregeg, Khozin menyebutkan
bahwa pada masa pemerintahan Belanda, pendidikan di Indonesia terbagi menjadi
empat sistem persekolahan.
“Pertama,
sekolah Eropa yaitu sekolah yang menampung anak-anak Hindia Belanda. Kurikulum
di sekolah ini identik dengan kurikulum sekolah yang sama di negeri Belanda. Kedua,
sekolah Barat adalah sekolah yang menampung anak-anak yang berwarga negara
Belanda. Tujuan pendidikan di sekolah ini adalah untuk memenuhi kebutuhan
pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Bahasa pengantar di sekolah ini adalah
bahasa Belanda. Ketiga, sekolah vernakuler. Kurikulum di sekolah ini
disusun oleh Belanda. Tujuan pendidika di sekolah ini hampir sama dengan
sekolah Barat, bahasa pengantarnya adalah bahasa daerah. Keempat, sekolah
pribumi. Yaitu sistem persekolahan yang ada di luar kontrol pemerintah Hindia
Belanda. Sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga agama
termasuk dalam golongan persekolahan yang terakhir ini”.
Sistem
persekolahan sebagaimana di atas, tentu akan mempertajam jurang pemisah antara
penduduk pribumi dengan orang-orang Belanda sebagai penjajah. Dilihat dari
perspektif Islam, maka sistem pendidikan yang demikian disamping membawa
pengaruh positif, unsur-unsur negatifnya bagi umat Islam sudah barang tentu
akan lebih dominan, terutama dampak sekularisme. Jika sistem pendidikan ini
tetap dipertahankan, maka tidak menutup kemungkinan umat Islam akan semakin
jauh terseret dalam proses sekularisasi. Karena budaya Barat, di samping
berbeda dengan kepribadian penduduk pribumiyang religius khususnya umat Islam,
juga sangat mungkin membawa misi kristenisasi.
Lebih lanjut
tentang ciri-ciri sistem pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial
Belanda, Selo Sumarjan, sebagaimana dikutip oleh Khozin, menyatakan sebagai
berikut:
“Belanda membawa
ke Indonesia suatu jenis pendidikan baru yang dalam banyak hal berbeda dengan
lembaga-lembaga pendidikan pribumi. Perbedaan-perbedaan yang pokok adalah: (1)
pendidikan yang dibiayai oleh Belanda di sekolah-sekolah umum netral terhadap
agama, (2) tidak terlalu memikirkan bagaimana caranya hidup secara harmonis
dalam dunia, tetapi terutama menekankan tentang bagaimana memperoleh
penghidupan, (3) diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok etnis di dalam
masyarakat, (4) juga diselenggarakan untuk
mempertahankan perbedaan kelas dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan
orang Jawa, (5) sebagian besar diarahkan pada pembentukan kelompok elit,
masyarakat yang bisa dipergunakan untuk mempertahankan supremasi politik dan
ekonomi Belanda di negeri jajahannya, dan dengan demikian benar-benar
mencerminkan kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda”.[20]
Menurut
Steenbrink, pada dasawarsa terakhir abad ke-19, di Indonesia telah dimulai
sistem pendidikan liberal yang dikembangkan oleh pemerintah Belanda. Pada masa
itu pendidikan tersebut juga diperuntukkan bagi sekelompok kecil orang
Indonesia (terutama kelompok elit), sehingga sejak tahun 1870 mulai tersebar
jenis pendidikan rakyat, yang berarti juga bagi umat Islam. Perluasan
pendidikan ke pedesaan yang diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat, baru
dilaksanakan pada awal abad ke-20. Pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah kolonial sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam tardisional,
bukan saja dari segi metode, tetapi juga dari segi substansi dan tujuannya.
Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial menekankan pada aspek
pengetahuan umum dan ketrampilan duniawi, sedangkan lembaga-lembaga pendidikan
Islam lebih menekankan pada aspek pengetahuan dan ketrampilan agama.[21]
Menghadapi
kenyataan demikian, Ahmad Dahlan mencoba mengantisipasi persoalan-persoalan
kemasyarakatan di sekelilingnya. Identifikasi masalah yang dihadapi umat Islam
pada waktu itu, dan dipandang perlu segera mendapat jawaban adalah
persoalan-persoalan sebagai berikut:
Kemunduran umat
Islam yang berpusat di pondok pesantren karena terisolasi dari perkembangan
ilmu dan masyarakat modern.
Timbulnya
sekolah-sekolah kolonial yang sekular, dan a-nasional yang mengancam kehidupan
batin para pemuda, dari agama dan kebudayaan bangsanya.
Sistem pemerintah
kolonial yang sedang kuat-kuatnya mencengkeram kuku-kukunya yang beracun ke
dalam tubuh masyarakat Indonesia.[22]
Untuk
mensosialisasikan gagasan-gagasan pembaharuannya terutama dalam bidang
pendidikan, Ahmad Dahlan mencoba memulainya dengan membimbing beberapa orang keluarga
dekatnya serta beberapa temannya. Tampat yang semula digunakan untuk
menyampaikan gagasan-gagasannya adalah pengajian-pengajian dan tempat-tempat
lain di mana ia memberikan pelajaran. Setelah upayanya dalam menyampaikan
benih-benih pembaharuan membuahkan hasil, maka ia merasa perlu membuat wadah
untuk menampung ajaran-ajarannya yang semakin berkembang itu dalam sebuah
wadah; yaitu Muhammadiyah. Langkah ini merupakan upaya merintis gerakannya
dalam bentuk yang lebih kongkrit.
H.M. Mulyadi dalam
“Dunia Baru Islam” tulisan L. Stoddard, mengatakan bahwa karena :
“...didorong oleh
sebab-sebab dan suasana yang ada di sekelilingnya ketika itu. Ia mulai
menginsafkan beberapa keluarganya sendiri dan teman sejawatnya yang terdekat di
Yogjakarta, dengan mengajak berfikir secara baru dalam pengajian-pengajian
agama dan cjeramah-cjeramah. Ia dirikan juga sekolah-sekolah yang dalamnja
diajarkan jiwa Islam murni ke dalam jiwa-nya angkatan muda yang bersekolah di
sekolah-sekolah umum ditekankanja untuk perlu menanamkan jiwa tauhid dalam
rangka memperhebat kepribadianja.”[23]
Dari peristiwa
sejarah ini, Khozin menyimpulkan beberapa hal: (1) pendidikan Muhammadiyah
–dikelola oleh K.H. Ahmad Dahlan– lahir pertama kali dalam suasana pendidikan
umat yang memprihatinkan, terutama pendangkalan nilai-nilai Islam dalam suatu
proses penjajahan yang mengarah ke sekularisasi, (2) sebagai cikal bakal
pendidikan Muhammadiyah adalah pengajian-pengajian dengan suasana kesederhanaan
yang langsung dibimbing oleh Ahmad Dahlan, (3) untuk mewujudkan cita-cita
pembaharuan dalam pendidikan ini, Ahmad Dahlan dengan kesungguhannya dan secara
terus menerus menanamkan benih-benih pembaharuannya, baik melalui sekolah di
mana ia mengajar maupun melalui ceramah-ceramahnya.[24]
Untuk mewujudkan
ide pembaharuan di dalam bidang pendidikan, Dahlan merasa perlu mendirikan
lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan
menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih
cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini,
ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisional
secara integral.[25]
Komitmen Dahlan
terhadap pendidikan agama sedemikian kuat. Oleh karena itu, di antara faktor
utama yang mendorongnya masuk organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1909 adalah
untuk mendapatkan peluang memberikan pengajaran agama kepada para anggotanya,
selain juga agar bisa membuka kesempatan memberikan pelajaran agama di
sekolah-sekolah pemerintah. Pendekatan ini dilakukan karena para anggota
organisasi Boedi Oetomo umumnya bekerja di sekolah dan kantor pemerintah waktu
itu.[26]
Pada perkembangan
berikutnya, Ahmad Dahlan mencoba mendirikan sebuah madrasah dengan memakai
bahasa Arab sebagai pengantar dalam lingkungan kraton Yogyakarta, namun usaha
ini gagal. Selanjutnya atas dorongan para pengurus Boedi Oetomo[27], pada tanggal 1 Desember 1911 Ahmad Dahlan
mendirikan sebuah sekolah dasar di lingkungan kraton Yogyakarta. Di sekolah ini
pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem
pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan sekolah Islam swasta
pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah dan
kemudian mendapatkan subsidi tersebut.[28] Tidak berpuas diri mendirikan satu sekolah,
Dahlan juga mendirikan sekolah yang sama di kampung Yogya yang lain.[29]
Setelah membentuk
perkumpulan Muhammadiyah, pada tanggal 18 Nopember 1912, pendidikan yang
dirintis oleh Dahlan berkembang dengan pesatnya. Untuk memenuhi tenaga pengajar
pada sekolah-sekolah tersebut, di samping guru yang berasal dari sekolah
pemerintah, juga dari sekolah calon guru yang didirikan oleh Dahlan sendiri
pada 8 Desember 1921[30], yaitu Kweek School Muhammadiyah (Madrasah
Mu’allimin) dan Kweek Istri Muhammadiyah (Madrasah Mu’allimat).[31]
Sepuluh tahun
setelah berdirinya Muhammadiyah, perkembangan pendidikan yang dipelopori oleh
Ahmad Dahlan berkembang cukup pesat. Di Yogyakarta sendiri, pada tahun 1923
telah berdiri empat sekolah dasar Muhammadiyah, dan sudah mulai mempersiapkan
mendirikan sekolah HIS.[32] Tidak hanya itu, Dahlan juga memperluas ide
pembaharuan pendidikannya melalui sekolah-sekolah yang didirikan di berbagai
daerah di luar Yogyakarta. Dalam catatan Sucipto, pada tahun 1922, Muhammadiyah
sudah memiliki 9 sekolah dengan 73 orang guru dan 1019 siswa. Sekolah-sekolah
tersebut diantaranya adalah opelding school di Magelang, Kweeck School
(Purworejo), Normal School (Blitar), NBS (Bandung), Algemeene School
(Surabaya), Hoogers Kweeck School (Purworejo).[33]
Dalam menyebarkan
ide-ide pembaharuannya, melalui pendirian berbagai lembaga pendidikan, K.H.
Ahmad Dahlan bukan tanpa kendala, pada saat mendirikan sekolah rakyat Muhammadiyah
di Suronatan Yogyakarta yang kemudian terkenal dengan nama Standar School atau
sekolah standar, ia mengalami kekurangan biaya, sehingga harus mengikhlaskan
barang-barang rumah tangganya dilelang guna meneruskan pendirian sekolah
tersebut.[34]
Demikian sebagian
tentang perjalanan K.H. Ahmad Dahlan dalam usaha mendirikan dan mengembangkan
lembaga pendidikannya. Karena menurut Dahlan, upaya strategis untuk
menyelamatkan umat Islam dari pola berfikir yang statis menuju pada pemikiran
yang dinamis adalah melalui pendidikan.[35] Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala
prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya dididik agar
cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memeta dinamika
kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci bagi meningkatkan kemajuan umat
Islam adalah dengan kembali pada al-Qur’an dan hadits, mengarahkan umat pada
pemahaman ajaran Islam yang komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan.
Pelaksanaan
pendidikan –menurut Dahlan– hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh.
Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan
ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk).[36] Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua
sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai ‘abd Allah dan khalifah
fi al-ardh.[37]
Pada pembahasan
berikutnya, penulis akan uraikan mengenai konsep pendidikan Ahmad Dahlan yang
dituangkan dalam berbagai lembaga pendidikan yang dibangunnya. Dalam hal
penelusuran mengenai konsep pendidikan Ahmad Dahlan ini tentu mengalami
beberapa kendala –kalau tidak boleh disebut kesulitan– mengingat Dahlan
bukanlah seorang teoritis yang menuangkan ide-ide pembaharuan pendidikannya
melalui tulisan. Dahlan adalah seorang pragmatikus. Murid dari ulama Syafi’i,
Syaikh Ahmad Khatib yang terkenal di Mekkah ini, mengajarkan semboyan kepada
murid-muridnya: Sedikit bicara banyak bekerja.[38] Maka, tidak satupun konsep pendidikan yang ia
tuangkan dalam tulisan baik berupa buku maupun catatan lainnya.
Tujuan
Pendidikan
Ahmad Dahlan
tidak secara khusus menyebutkan tujuan pendidikan. Tetapi dari pernyataan
yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan, tujuan pendidikanAhmad Dahlan
adalah : “ Dadijo Kijahi sing kemadjoean, adja kesel anggonmoenjamboet gawe
kanggo Moehammadijah”. Dalam pernyataan sederhana tersebut, terdapat beberapa
hal penting, yaitu “kijahi”, “kemadjoean” dan “njamboet gawe kanggo
Moehammadijah”.[39]
Istilah Kiai
merupakan sosok yang sangat menguasai ilmu agama. Dalam masyarakat Jawa,
seorang Kiai, adalah figur yang shalih, berakhlaq mulia dan menguasai ilmu
agama secara mendalam. Istilah kemajuan secara khusus menunjuk kepada
kemoderenan sebagai lawan dari kekolotan dan konservatisme. Pada masa Ahmad
Dahlan kemajuan sering diidentikkan dengan penguasaan ilmu-ilmu umum atau intelektualitas
dan kemajuan secara material. Sedangkan kata “njamboet gawe kanggo Moehammadijah”
merupakan manifestasi dari keteguhan dan komitmen untuk membantu dan
mencurahkan pikiran dan tenaga untuk kemajuan umat Islam, pada khususnya, dan
kemajuan masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan
pemahaman tersebut, Amir Hamzah menyimpulkan tujuan pendidikan menurut Ahmad
Dahlan adalah untuk membentuk manusia yang :
‘Alim dalam
ilmu agama;
Berpandangan
luas, dengan memiliki pengetahuan umum;
Siap
berjuang, mengabdi untuk Muhammadiyah dalam menyantuni nilai- nilai keutamaan
pada masyarakat.[40]
Rumusan
tujuan pendidikan tersebut merupakan “pembaharuan” dari tujuan pendidikan
yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren
dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren
hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama.
Di dalam sistem pendidikan pesantren tidak diajarkan sama sekali pelajaran
dan pengetahuan umum serta penggunaan huruf latin. Semua kitab dan tulisan yang
diajarkan menggunakan bahasa dan huruf Arab. Sebaliknya, pendidikan
sekolah model Belanda merupakan pendidikan “sekuler” yang di dalamnya tidak
diajarkan agama sama sekali. Pelajaran di sekolah ini menggunakan huruf latin.
Akibat dualisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia: lulusan
pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan lulusan
sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat
ketimpangan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang
“sempurna” adalah melahirkan individu yang “utuh” : menguasai ilmu agama dan
ilmu umum, material dan spiritual serta dunia dan akhirat. Bagi Ahmad Dahlan
kedua hal tersebut (agama-umum, material-spiritual dan dunia-akhirat) merupakan
hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa
Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama ekstra kurikuler diKweekschool Jetis
dan Osvia Magelang serta mendirikan madrasah Muhammadiyah yang didalamnya
mengajarkan ilmu agama dan ilmu umum sekaligus.
Materi Pendidikan
Berangkat
dari tujuan pendidikan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau
materi pendidikan hendaknya meliputi :
Pendidikan
moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan
Al-Quran dan As-Sunnah.
Pendidikan
individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yangutuh
yang berkeseimbangan antara perkembangan mental dan jasmani, antara
keyakinandan intelek, antara perasaan dengan akal pikiran serta antara dunia
dan akhirat.
Pendidikan
kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dankeinginan
hidup bermasyarakat.[41]
Meskipun
demikian, Ahmad Dahlan belum memiliki konsep kurikulum dan materi pelajaran
yang baku. Muatan kurikulum pelajaran agama menurut Ahmad Dahlan bisa dilihat
dari materi pelajaran agama yang diajarkannya dalam pengajian- pengajian
di madrasah dan pondok Muhammadiyah. K.R.H Hadjid, salah seorang murid Ahmad
Dahlan, mengumpulkan ajaran gurunya ke dalam sebuah buku berjudul “Ajaran Ahmad
Dahlan dan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran” yang merupakan
catatan pribadinya selama mengikuti pelajaran agama. Kelompok ayat
al-Qur’an yang sering dan berulang-ulang diajarkan Dahlan antara lain adalah:
Membersihkan
diri sendiri
Menggempur
hawa nafsu mencintai harta benda
Orang yang
mendustakan agama
Apakah
artinya agama itu?
Islam dan
sosialisme
Suratul
‘ashri
Iman/kepercayaan
Amal sholeh
Watawa shau
bil haqqi
Watawa shau
bis shobri
Al-djihad
Wa ana minal
muslimin
Al-birru
Al-Qori’ah
ayat 6
As-Shaf ayat
3
Menjaga diri
Al-Hadid
ayat 16[42]
Dari
pelajaran tersebut dapat dikelompokkan bahwa Ahmad Dahlan banyak menyampaikan
materi yang berkaitan dengan keimanan, akhlak dan semangat untuk berjuang
membela agama dan membantu sesama.
Metode Mengajar
Di dalam
menyampaikan ilmu agama, K.H. Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang
tekstual, melainkan kontekstual. Bagaimana cara ia mengajarkan agama antara
lain dijelaskan oleh K.H. Mas Mansur, yang merupakan salah seorang murid dan
teman seperjuangannya. Dalam hal ini, K.H. Mas Mansur, sebagaimana dijelaskan
oleh Abdul Mu’ti, menyebutkan:
“KHA. Dahlan gemar sekali mengupas tafsir dan pandai pula tentang hal itu.
Kalau menafsirkan sebuah ayat, beliau selidiki lebih dahulu dalam tiap-tiap perkataan
dalam ayat itu satu demi satu. Beliau lihat kekuatan atau perasaan yang
terkandung oleh perkataan itu di dalam ayat yang lain-lain, barulah beliau
sesuaikan dengan keadaan hingga keterangan beliau itu hebat dan dalam serta
tepat.”[43]
Di samping
menggunakan penafsiran yang kontekstual, Ahmad Dahlan berpendapat, bahwa
pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan saja atau difahami secara
kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi. Gagasan Dahlan
tentang “pembumian” ajaran al-Qur’an tersebut antara lain tercermin dalam
pengajaran surat al-Ma’un –yang dalam perkembangannya melahirkan majlis
pembinaan kesejahteraan umat (MPKU).
Dalam hal
metode mengajar ini, Ahmad Dahlan memilih menggunakan metode ceramah. Sebagai guru,
ia masih merupakan sumber utama dari proses pembelajaran. Hal ini tentu dapat
dipahami, mengingat kondisi saat itu, selain juga masih terbawa metode
pendidikan ala pesantren. Seperti kita ketahui, dalam pesantren saat itu,
pembelajaran yang menggunakan metode bandongan dan sorogan, sistem
pengajarannya berjalan satu arah. Dari kyai kepada santri, di sini kyai
merupakan satu-satunya sumber belajar, selain kitab-kitab yang dipelajarai
tentunya. Dalam sistem dan metode semacam ini, hampir pasti tidak ada unsur
dialogis (baca: tanya jawab dan diskusi).
Namun
demikian, sekalipun metode pembelajarannya nir-diskusi, namun Dahlan menerapkan
pola “learning by doing” (belajar sambil melakukan). Ilmu yang telah diajarkan
harus diamalkan, karena ilmu dan amal adalah satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan.
Selanjutnya,
dilihat dari sistem penyelenggaraannya, sekolah yang diselenggarakan oleh Ahmad
Dahlan meniru sistem persekolahan model Belanda. Dalam mengajar, Dahlan
menggunakan kapur, papan tulis, meja, kursi dan peralatan lain sebagaimana
lazimnya sekolah Belanda. Berkaitan dengan langkah tersebut, Dahlan berpendapat
bahwa untuk memajukan pendidikan diperlukan cara-cara sebagaimana yang
digunakan dalam sekolah yang maju. Meniru model penyelenggaraan sekolah tidak
berarti mengabaikan ajaran agama sebab penyelenggaraan sistem pendidikan
merupakan wilayah muamalah yang harus ditentukan dan dikembangkan sendiri.[44]
Catatan Kritis
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Sekalipun tidak
dalam formulasi dan rumusan filsafat pendidikan yang eksplisit, K.H. Ahmad
Dahlan telah meletakkan landasan bagi lahirnya pendidikan Islam modern di
nusantara. Sumbangan Ahmad Dahlan tersebut setidaknya dapat dilihat dari tiga aspek.
Pertama, dari aspek filosofis, Dahlan telah meletakkan rumusan tujuan
pendidikan yang “utuh”, non-dokotomik, yang menciptakan ulama yang intelek dan
intelek yang ulama, yakni individu yang menguasai ilmu agama dan ilmu umum
sekaligus. Dalam konsep ini, Dahlan mencoba melakukan islamisasi terhadap
pendidikan kolonial Belanda yang sekuler. Desain pendidikan Dahlan ini
merupakan terobosan terhadap permasalahan pendidikan pada masa itu yang hanya
melahirkan dua kutub inteligensia yang saling bertentangan: kelompok ulama yang
hanya menguasai ilmu agama sebagai produk pendidikan pesantren dan kelompok
intelektual sebagai produk pendidikan sekolah Belanda.
Kedua, secara kelembagaan K.H. Ahmad Dahlan telah
berhasil meletakkan landasan lahirnya lembaga pendidikan Islam modern di
Indonesia. Sistem sekolah Islam dan madrasah yang sekarang ini merupakan model
lembaga pendidikan Islam yang paling dominan merupakan pengembangan lebih
lanjut dari sistem sekolah dan madrasah yang dikembangkan oleh Dahlan.
Ketiga, pada aspek kurikulum, Dahlan telah mewariskan
desain kurikulum bagi sekolah Islam dan madrasah, yang merupakan perpaduan apik
antara kurikulum di pesantren dan kurikulum pada sekolah umum. Kurikulum yang
integralistik ini, bahkan tidak banyak mengalami perubahan dari produk
pemikiran Dahlan saat itu, kecuali penyesuaian terhadap kurikulum pemerintah
(baca: Kemendiknas). Dalam hal kurikulum ini juga, Dahlan telah berhasil
memasukkan pendidikan agama ke dalam lembaga pendidikan umum, baik yang diselenggarakan
oleh pemerintah maupun swasta non-agama. Walaupun dewasa ini banyak kajian dan
diskusi tentang minimnya pendidikan agama pada sekolah umum, yang dituduh
sebagai sumber rendahnya akhlak peserta didik, namun “jihad” yang dilakukan
oleh Dahlan ketika berusaha untuk mengajarkan agama di sekolah umum pada lebih
kurang seratus tahun lalu itu pantas mendapat pujian. Usaha Dahlan waktu itu
paling tidak telah memberikan porsi –walau dirasa sangat kurang– pendidikan
agama untuk diajarkan pada sekolah umum non agama.
Gagasan K.H. Ahmad
Dahlan dalam pendidikan Islam ini, oleh Abdul Mu’ti, dianggap telah memberikan
kontribusi dalam memecahkan masalah umat dan bangsa.[45]
Meskipun demikian,
gagasan Ahmad Dahlan memadukan dua kutub Barat-Islam atau sistem pendidikan
sekolah-pesantren ke dalam satu lembaga pendidikan sekolah atau madrasah tidak
luput dari kelemahan. Perpaduan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk
kurikulum, dalam perkembangannya masing-masing tetap berdiri sendiri-sendiri.
Materi agama dan ilmu pengetahuan umum belum bisa (untuk tidak mengatakan tidak
bisa) padu (integral/menyatu). Apalagi sekarang, ketika kelulusan peserta didik
hanya ditentukan oleh hasil ujian nasional yang hanya terdiri dari mata
pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika untuk tingkat Dasar, Bahasa
Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris dan IPA untuk tingkat SMP/MTs, Bahasa
Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Fisika, Biologi, dan Kimia untuk tingka
SMA/MA jurusan IPA dan Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Ekonomi,
Geografi dan Sosiologi untuk SMA/MA jurusan IPS, serta hampir sama untuk
jurusan Bahasa dan SMK. Pada kondisi ini, maka pendidikan Agama tidak ubahnya
hanya pelengkap saja.
Merespon model
pendidikan Islam semacam ini, di mana masih ada jurang pemisah antara ilmu
agama dengan ilmu umum, Prof. Abdurrahman Mas’ud menawarkan model pendidikan
non-dikotomik. Menurut Rahman, pendidikan Islam yang masih membedakan antara ulumuddin
dan ulumuddunya, belum layak disebut sebagai pendidikan Islam yang kaffah
atau komprehensif.[46]
Kesimpulan
K.H. Ahmad Dahlan,
yang merupakan tokoh pendiri organisasi Muhammadiyah merupakan penggagas dan
peletak batu pertama bagi modernisasi pendidikan Islam. Modernisasi pendidikan
Islam yang dimulai dengan memasukkan pengajaran agama pada sekolah umum,
kemudian mendirikan sekolah Islam yang memadukan antara pelajaran umum seperti
yang diajarakan pada sekolah Belanda dengan pelajaran agama seperti yang
diajarkan pada pendidikan pesantren dengan menggunakan model pembelajaran ala
sekolah kolonial Belanda. Meskipun pada awalnya banyak pertentangan, namun
model ini (baca: sekolah Islam atau madrasah), sekarang merupakan format
pendidikan “baku” dalam dunia pendidikan Islam.
Pembaharuan
pendidikan Islam Dahlan juga terlihat pada aspek filosofis tujuan pendidikan,
materi dan metode pendidikan.
Tulisan maupun
kajian dalam tulisan ini tentu masih jauh dari kata sempurna, namun semoga
kajian terhadap pemikiran salah satu tokoh pendidikan Islam di Indonesia awal
abad ke-19 ini memperkaya wacana pemikiran kita tentang pendidikan Islam,
kemudian menjadi referensi bagi penyempurnaan dan kemajuan pendidikan Islam,
khususnya pendidikan Islam di Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohamad, Menabur
Benih Sekolah Unggul di Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009.
Arifin, M.T., Gagasan
Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta: Pustaka, 1987.
Dhofier,
Zamakhsjari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1982.
Djamaluddin dan
Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia,
1999.
Hadjid, K.R.H., Ajaran
K.H.A Dahlan dengan 17 Kelompok ayat-ayat al-Qur’an, Semarang: PWM Jawa
Tengah, 1996.
Khozin, Jejak-jejak
Pendidikan Islam di Indonesia Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi, (Malang: UMM
Press, 2006), hal. 172.
Ma’arif, Ahmad
Syafi’i, Peta Bumi Intelektual Muslim di Indonesia, Bandung: Mizan, 1994.
Mohammad, Herry,
dkk., Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani
Press, 2006.
Mu’ti, Abdul,
Konsep Pendidikan Kiai Haji Ahmad Dahlan, dalam Abdul Kholiq, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik
& Kontemporer, Semarang: FT. IAIN Walisongo, 1999.
Mulkhan, Abdul
Munir, Paradigma Intelektual Muslim, Yogyakarta: Sipress, 1993.
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Noer, Deliar, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996.
Pasha, Mustafa
Kamal dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam Dalam
Perspektif Ideologis dan Historis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Rahman, Abdul, Menggagas
Format Pendidikan Nondikotomik Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan
Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2007.
Steenbrink, Karel
A., Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta:
LP3ES,1994.
Stoddard, L., Dunia
Baru Islam, Jakarta: Panitia Penerbit, 1966.
Sucipto, Hery, K.H.
Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, Jakarta: Best
Media Utama, 2010.
Wirjosukarto, Amir
Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islamm Jember: Mutiara
Offset, 1985.
Yunus, Mahmud, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
Yusuf, M. Yunan,
dkk., Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
[1] Karel A.
Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, (Jakarta: LP3ES,1994), hal. 51
, lihat juga Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia
1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 50
[2] Mohamad Ali, Menabur
Benih Sekolah Unggul di Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2009), hal. 101
[3] Deliar Noer, Gerakan
Modern Islam, hal. 85.
[4] Zamakhsjari
Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 41
[5] Abdul Munir
Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: Sipress, 1993), hal.
63.
[6] M. Yunan
Yusuf, dkk., Ensiklopedi Muhammadiyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), hal. 74-75. Menurut
Yunus, Darwis menunaikan haji pada tahun 1890, di saat usianya mencapai 22
tahun, dan di Mekkah ia hanya menetap selama satu tahun saja, lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hal. 267.
[7] Mustafa Kamal
Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam Dalam
Perspektif Ideologis dan Historis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
hal. 91-92
[8] M. Yunan
Yusuf, dkk., Ensiklopedi Muhammadiyah, hal. 75.
[9] Abdul Mu’ti,
Konsep Pendidikan Kiai Haji Ahmad Dahlan, dalam Abdul Kholiq, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik
& Kontemporer, (Semarang: FT. IAIN Walisongo, 1999), hal. 200.
[10] Ada juga yang
berpendapat K.H. Ahmad Dahlan menetap di Mekkah pada kunjungan ibadah haji yang
kedua ini selama dua tahun, lihat Deliar Noer, Gerakan Modern, hal. 85
[11] Abdul Mu’ti, Konsep
Pendidikan, hal. 200.
[12] Abdul Munir
Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, hal. 63.
[13] Abdul Mu’ti, Konsep
Pendidikan
[14] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 102.
[15] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 102.
[16] Abdul Mu’ti, Konsep
Pendidikan, hal. 201.
[17] Deliar Noer, Gerakan
Modern Islam, hal. 316-319.
[18] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hal.
104.
[19] Khozin, Jejak-jejak
Pendidikan Islam di Indonesia Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi, (Malang: UMM
Press, 2006), hal. 172.
[20] Khozin, Jejak-jejak
Pendidikan Islam di Indonesia, hal. 174.
[21] Karel A.
Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam, hal. 24.
[22] Khozin, Jejak-jejak
Pendidikan Islam , hal. 175.
[23] L. Stoddard, Dunia
Baru Islam, (Jakarta: Panitia Penerbit, 1966), hal. 307.
[24] Khozin, Jejak-jejak
Pendidikan Islam , hal. 176.
[25] Karel A.
Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam, hal.
50-58.
[26] Deliar Noer, Gerakan
Modern Islam, hal. 86.
[27] Herry
Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2006), hal. 10. Lihat juga Deliar Noer, Gerakan Modern
Islam, hal. 86.
[28] Karel A.
Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam, hal. 52.
[29] Karel A.
Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam, hal. 54.
[30] Karel A.
Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam, hal. 55.
[31] Hery Sucipto, K.H.
Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, Jakarta:
Best Media Utama, 2010), hal. 113.
[32] Karel A.
Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, hal. 54.
[33] Hery Sucipto, K.H.
Ahmad Dahlan Sang Pencerah, hal. 73.
[34] Djamaluddin
dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, 1999), hal. 91.
[35] Ahmad Syafi’i
Ma’arif, Peta Bumi Intelektual Muslim di Indonesia, (Bandung: Mizan,
1994, 1994), hal. 221.
[36] Abdul Munir
Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, hal. 66.
[37] Lihat Q.S. 2:
30; 6: 102 dan 165; 51: 56.
[38] Karel A.
Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, hal. 52.
[39] Abdul Mu’ti, Konsep
Pendidikan, hal. 202.
[40] Amir Hamzah
Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islamm (Jember:
Mutiara Offset, 1985), hal. 92.
[41] M.T. Arifin., Gagasan
Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka, 1987), hal. 33-34.
[42] Lihat K.R.H.
Hadjid, Ajaran K.H.A Dahlan dengan 17 Kelompok ayat-ayat al-Qur’an, (Semarang:
PWM Jawa Tengah, 1996). K.R.H. Hadjid adalah salah satu murid K.H. Ahmad Dahlan
dan kemudian menjadi guru pada Madrasah Muhammadiyah.
[43] Abdul Mu’ti, Konsep
Pendidikan, hal. 205.
[44] Abdul Mu’ti, Konsep
Pendidikan, hal. 206.
[45] Abdul Mu’ti, Konsep
Pendidikan, hal. 209.
[46] Baca Abdul
Rahman, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik Humanisme Religius sebagai
Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. xii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar