PROBLEM SEKULARISASI DAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
(Suatu Tinjauan Epistimologis)[1]
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan berbagai
macam dampaknya terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, disatu sisi dia
mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga
mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan eksistensi
itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat
materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan
yang jauh dari nilai-nilai spritua, moral dan etika. Oleh karena itu Islamisasi
ilmu pengetahuan dalam pandangan para pemikir Islam merupakan suatu hal yang
mesti dan harus dirumuskan.
Dari uraian singkat di atas penulis akan membahas hal
sebagai berikut :
Arti sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan
serta yang melatar belakangi munculnya.
Sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengethuan ditinjau
dari epistimologinya.
PEMBAHASAN
Pengertian Sekularisasi, Islamisasi dan Epistimologi
Sekularisasi
Istilah Sekularisasi berkakar dari kata Sekuler yang
berasal dari bahas latin Seaculum artinya abad (age, century), yang
mengandung arti bersifat dunia, atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang.
Dalam bahasa Inggris kata secular berarti hal yang bersifat duniawi, fana,
temporal, tidak bersifat spritual, abadi dan sakral serta kehidupan di luar
biara.[2]
Yusuf Qardhawi dalam bukunya, at-Tatharufu al-’ilmani fi Mujaahwati al-Islam, sekular ialah la Diniyyah atau Dunnaawiyah yang yang bermakna sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan agama atau semata dunia.[3] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sekularisasi diartikan segala hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang iak didasarkan pada ajaran agama.[4]
Yusuf Qardhawi dalam bukunya, at-Tatharufu al-’ilmani fi Mujaahwati al-Islam, sekular ialah la Diniyyah atau Dunnaawiyah yang yang bermakna sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan agama atau semata dunia.[3] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sekularisasi diartikan segala hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang iak didasarkan pada ajaran agama.[4]
Makna Sekularisasi itu sendiri, menurut Norcholis
Madjid mengartikannya sebagai proses penduniawiyaan atau proses melepaskan
hidup duniawi dari kontrol agama.[5] Adapula
yang mendefinisikannya sebagai suatu proses yang terjadi dalam segala sektor
kehidupan masayarakat dan kebudayaan yang lepas dari dominasi lembaga-lembaga
an simbol-simbol keagamaan.[6]
Dari berbagai di atas menunjukkan bahwa makna
Sekularisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pelepasan/pembebasan ilmu
dari setiap pengeruh agama sebagai landasan berpikir.
Islamisasi
Islamisasi, ditinjau dari katanya berasal dari akar
kata Islam. Secara etimologi berarti tunduk/pasrah dan patuh. Sedang
terminologi adalah agama yang menganjurkan sikap pasrah kepada Tuhan yang dalam
bentuk yang diajarkan melalui Rasulullah SAW. yang berpedoman pada kitab suci
al-Qur’an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT. Islamisasi sendiri
bermakna pengislaman.[7]
Farid Alatas membahasakan Islmisasi Ilmu Pengetahuan
adalah suatu ilmu yang merujuk pada upaya mengelimir unsur-unsur atau
konsep-konsep pokok yang membentuk peradaban dan kebudayaan barat, khususnya
dalam ilmu-ilmu sosial, yang termasuk dalam unsur-unsur atau konsep humanisme,
drama serta strategi dalam kehidupan rohani yang meyebabkan ilmu yang
sepenuhnya benar menurut ajaran Islam tersebar ke seluruh dunia, setelah
melewati proses di atas ke dalam ilmu tersebut dinamakanlah unsur-unsur dan
konsep-konsep pokok keislaman. [8]
Islamisasi pengetahuan yang mengandung ilmu benar jika
ilmu itu sesuai dengan fitrah yang mempunyai unsur-unsur pokok keIslaman seperti
insan, din, ilm’ dan ma’rifah’ad, ’amal adab dan sebagainya. Jadi Islamisasi
pengetahuan adalah pembebasan ilmu dari pemahaman yang berasaskan duniawi yang
cenderung bebas nilai.[9]
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa
Islamisasi ilmu pengetahuan adalah proses mendapatkan ilmu pengetahuan
berdasarkan ajaran Islam.
Epistimologi
Episimologi berasal dari bahasa Yunani, episteme
berarti pengetahuan dan logos berarti ilmu atau teori. Jadi Epistimologi ialah
ilmu yang membahas bagaomana memperoleh ilmu pengetahuan baik secara teoritis
(idea) maupaun praktis (indrawi).[10] Selain
itu Epistimologi diartikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari tentang
filsafat atau teori ilmu pengetahuan dalam mengkaji asal usul filsafat atau
benda, dalam istilah bahasa Inggris dikenal dengan istilah Theori of Knowledge.[11]
Sekularisasi Ilmu Pengetahuan
Latar Belakang lahirnya Sekularisasi
Sekularisasi berasal dari dunia barat kristiani, yang
muncul dengan diserukan oleh para pemikir bebas agar mereka terlepas dari
ikatan gereja, para pemuka agama dan pendetanya. Pada awalnya agama Kristiani
lahir di dunia Timur, namun warna Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan
dunia Barat. Keadaan ini sejak kekaisaran Romawi Konstantin yang agung
(280-337) yang melegalisasikan dalam dalam wilayah imperiumnya serta mendorong
penyebarannya merata ke benua Eropa, terutama di abad pertengahan warna
Kristiani meyelimuti kehidupan Barat baik politik, ekonomi, sosial, budaya,
serta ilmu pengetahuan.[12]
Gambaran gereja (baca : pemuka agama atau pendeta)
pada saat itu datang dengan membawa pemikiran menentang akal dan rasio dengan
mempertahankan kebekuannya melawan ilu dan kebebasan, tampil dengan menghadapi
kemajuan. Sikap keras para aktifis gereja dalam menentang para ahli pikir
(ilmuan) yang menorehkan hasil penelitian ilmiyah dan nalarnya karena dinilai
bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Hingga gereja memusuhi orang-orang
yang menyampaikan teori ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan ajarannya,
seperti berpendapat bahwa bumi ini bulat dianggap sebuah kekafiran atau keluar
dari agama.
Kepicikan berpikir gereja terhadap orang-orang yang
mengemukakan teori atau pandangan keilmuan yang bertentangan dengan ajarannya
ternyata melahirkan bentuk kekejaman dengan menyiksa jenazah ilmuwan dan membakarnya,
yang hidup pun tidak kalah penyiksaan yang diterimanya. Sehingga para ahli
pikir menuntut dipisahkannya urusan agama dari kehidupan sosial dan
pemerintahan agar terindar dari beragamnya penyiksaan tersebut.[13]
Dengan terlepasnya dari para ahli pikir dari tirani
gereja, melahirkan sekularisasi di Barat. Pertentangan ini pun berakhir dengan
membagi ”hidup” menjadi dua bagian, sebagian diserahkan kepada agama sebagian
lagi diserahkan ke pemerintah (penguasa). Sebagaimana ungkapan Isa al Masih
dalam Injil : sebagian untuk Allah dan sebagian untuk kaisar. Artinya
masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar mengatur kehidupan
dunia, masyarakat, pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang diwakili gereja
berada pada bagian agama atau rohani, sehingga tidak ada intervensi antar
keduanya. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan dalam kitab tetap ditempatkan
sebagai kebutuhan dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan ajaran Kristiani yang
mengatakan manusia itu sebagai gambaran dan rupa Tuhan sedangkan Tuhan sendiri
merupakan sumber terang dan pengetahuan. Oleh karena itu Tuhan menghendaki
supaya kenal padanya dan meyelidiki segala yang diciptaka-Nya, sehingga dapat
memperoleh pengetahuan.[14]
Sekularisasi secara formal diperkenalkan oleh G.J
Holyoake (1817 – 1906 M)[15] merupakan
reaksinya terhadap tindakan gereja-gereja yang bersifat otoriter terhadap
sains. Sedangkan Galeleo (lahir 1564 M) dipandang sebagai pahlawan sekularisai
ilmu penetahuan. Wujud orientasi aliran ini adalah pembebasan berpikir di luar
ajaran agama, sehingga mereka mengambil kesimpulan bahwa ilmuan bebas berfikir
sesuai dengan profesinya dan bagi agamawan yang tidak respon diberikan
kebebasan mengatur urusan akhirat.
Pokok-Pokok
Ajaran Sekularisasi
Suatu faham atau aliran terdapat ajaran pokok sebagai
landasan dalam berfikir termasuk sekularisasi, atau sebagai acuan dalam
melindungi pemahaman suatu tema yang distatemenka. Adapun ajaran pokok
sekularisasi ilmu pengetahuan yaitu :[16]
Prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan dengan
alat material semata-mata.
Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah
tanpa ada ikatan agama dan metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria
ilmiah yang dapat dipercaya dan yang bersifat vaiditas.
Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan
agama tidak boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang
akhirat belaka.
Menekankan perlunya toleransi semua golongan
masyarakat tanpa mengenal perbedaan agama.
Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasan.
Prinsip rasio dan kecerdasan yang sangat dijunjung tinggi oleh penganut sekularis, karena ilmu pengetahuan bisa berkembang dengan akal pikiran dan penalaran yang tinggi. Dan rasiolah yang melahirkan kebahagian menuju kemajuan, sedangkan agama tidak mampu menjelaskan secara rasio terhadap ilmu pengetahuan karena ia adalah keyakinan.[17]
Prinsip rasio dan kecerdasan yang sangat dijunjung tinggi oleh penganut sekularis, karena ilmu pengetahuan bisa berkembang dengan akal pikiran dan penalaran yang tinggi. Dan rasiolah yang melahirkan kebahagian menuju kemajuan, sedangkan agama tidak mampu menjelaskan secara rasio terhadap ilmu pengetahuan karena ia adalah keyakinan.[17]
Sekularisasi Ilmu Pengetahuan Ditinjau dari
Epistimologi
Secara formal epistimologi sekularisasi ilmu
pengetahuan berbentuk rasionalisme dan empirisme. Dimana memandang ilmu
pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan
keyakinan “iman” sebagai penilai.
Sesuai dengan epistimologi sekularisme yakni
rasionalisme dan empirisme, membuat sekularisasi harus mempertahankan
keobjektifan tujuannya dengan mentaati aturannya sendiri dengan menghindarkan
ilmu pengetahuan selalu terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan
semua yang bersifat normatif guna menjaga realitas ilmu pengetahuan sebagai
suatu yang indefendent dan objektif. Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan
yang objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah
dan dengan empiris memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui
pengalaman.
Dengan rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu
pengetahuan secara ilmiah memandang alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud,
karena alam adalah benda mati yang netral dan tujuannya sangat ditentukan oleh
manusia sendiri. Sehingga manusia dengan segala daya dan upayanya yang
dimilikinya mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.[18]
Oleh kerena itu terdapat konsestensi antara
sekularisasi dan rasionalisme dan empirisme, sebab inti sekularisasi adalah
pemahaman masalah duniawi dengan mengarahkan kecerdasan rasio.
Konsekwensi epistimologi sekuler dari segi aksiologi
menyebabkan ilmu itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan oleh manusia
pemakainya. Jadi pada akhirnya dapat dikatakan bahwa sekularisasi ilmu
pengetahuan kehilangan objektivitasnya.[19]
Nourcholis Majid yang dikenal tokoh sekuler Indonesia,
membahasakan bahwa ilmu pengetahuan itu, baik buruknya suatu ilmu pengetahuan
tergantung oleh manusia yang memakainya. Pandangan selanjutnya bahwa
sekularisasi itu pun perlu dengan konsep duniakan yang bersifat dunia dan
akhiratkan yang akhirat.[20]
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Latar Belakang Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Sejak dekade 70-an, diskusi Islamisasi mulai
mengemuka, marak dipublikasikan suatu hal yang ”newview” dikalangan ilmuan.
Ketika suatu kondisi ilmu pengetahuan barat berkuasa terhadap dunia manusia
yang bermauatan tanpa nilai (bebas nilai), lebih cenderung ke hal yang material
saja. Hal tersebut merangsang para pemikir dikalangan ummat Islam bahwa ilmu
pengetahuan buatan manusia tidak boleh bebas terpakai dan menguasai, dalam arti
harus bernilai produk tuhan bukan produk nilai manusia karena ada tujuan
terakhir setelah singgah di pelabuhan dunia yakni kampung abadi, akhirat.
Oleh karena itu, lahirlah Islamisasi ilmu pengetahuan
dari sebuah korelasi terhadap ilmu-ilmu modern (baca : barat) yang cenderung
menidurkan ilmu pengetahuan yang bebas nilai yang terlapas dari tuntutan wahyu.
Dengan kata lain bahwa ilmu pengetahuan sudah sangat sekular pada akhirnya
mengantarkan manusia pada kehidupan hampa spritualitas. Walaupaun pada dasarnya
kita ketahui dalam sejarah bahwa Islam pada masa lampau sangat kaya dengan
khazanah ilmu pengetahuan, akan tetapi karena “penyelewengan pihak Barbar”
menengelamkan “gemilangnya” ilmu pengetahuan Islam.[21]
Dalam kalangan Islam muncullah seperti Ismail
al-faruqy, Syech Muhammad Naquib al-Attas, Ziauddin Sardar sebagai tokoh-tokoh
atau penggagas Islamisasi llmu Pengetahuan. Lahirnya gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan ini didasarkan terhadap pada pandangan bahwa manusia ilmu
pengetahuan produk modern dewasa ini tidak berhasil mengantar manusia pada
cita-cita ilmu itu sendiri. Hal itu disebabkan karena ilmu dilepaskan dari akar
Ilahy dan dikosongkan dari pertimbangan nilai.[22]
Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ditinjau dari Epistimilogi
Pada dasarnya ilmu pengetahuan sudah ada sejak manusia
(Adam) diciptakan, bahkan ilmu pengetahuan sudah melekat dalam diri manusia,
hal ini disyaratkan oleh al-Qur’an dimana Allah SWT. yang langsung mengajarkan
kepada Adam nama-nama benda yang sudah diciptakan sebelumnya. Dan nama benda
tersebut mengandung arti sebagai unsur-unsur pengertian, baik yang ada di dunia
maupun di akhirat. Kemudian pengetahuan itu pula yang memberikan Adam tempat
yang mulia diantara makhluk-makhluk yang ada, termasuk malaikat yang
diperintahkan oleh Allah SWT untuk sujud sebagai penghormatan kepada Adam.
Rasa hormat yang diberikan kepada Adam itu merupakan
simbol pengakuan manusia atas keunggulannya. Keunggulan itu disebabkan oleh
pengetahuan atas nama-nama benda yang diajarkan oleh Allah SWT kepadanya dan
bukan karena keshalehannya, karena sudah pasti dalam keshalehan, para malaikat
lebih unggul dari Adam. Selain pengetahuan sebagai alasan bentuk perhormatan
kepada Adam, proses penciptaannya pun merupakan sebaik-baiknya, yang membuat
kemuliaan tersendiri manusia.[23]
Dengan pengetahuan yang diberikan oleh Allah SWT ke
Adam, maka perbincangan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini menambah
semangat untuk membangkitkan kembali kemesraan terhadap hubungan harmonis
antara agama dan ilmu pengetahuan. Meskipun Islamisasi ilmu pengetahuan itu
sendiri tidak pernah dikenal dalam pemikiran Islam, kerena ketika manusia lahir
di rahim Islam maka seyogyanya harus berkepribadian Islam dari segala
corak.
Islamisi Ilmu Pengetahuan memandang bahwa dalam
realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang
mengatur dan hukum itu adalah ilmu pengetahuan Allah. Pandangan adanya hukum
alam tersebut sama dengan sekuler, tetapi dalam pandangan Islam hukum tersebut
adalah ilmu pengetahuan Allah. Sebagaimana ilmu pengetahuan Allah, maka
realitas alam semesta tidak netral tetapi mempunyai maksud dan tujuan. Maksud
dan tujuan itu sesuai dengan maksud dan tujuan tuhan menciptakan ilmu
pengetahuan.
Dalam Islam, ilmu pengetahuan terjadi karena
pengkristalan pengalaman dan pengetahuan sendiri, maupun informasi dari orang
lain, yang dapat diungkapkan dengan kenyataan secara objektif ataupun
subjektif. Ilmu barat dibentuk atas dasar fakta empiris atau indrawi saja,
tanpa menghiraukan sumbernya, yakni Allah, yang telah memberikan esensi
berbagai ilmu.[24] Jadi,
epistimologi Islamisasi Ilmu Pengetahuan melalui Tuhan wahyu ilahy), akal,
pengalaman, maupun intuiasi, selain itu alam semesta dengan dengan mengkaji
al-Qur’an yang tersurat dan tersirat.[25]
Hamid Fahmy Zarkazi, dalam wordlview sebagai asas
Epistimologi Islam mengatakan bahwa sebenarnya cara bagaimana seorang individu
dalam proses mendapatkan ilmu cukup beragam sesuai dengan worldview yang
dimiliki yang terbentuk dengan akumulasi pengetahuan dalam pikirannya baik
secara apriori maupun aposteriori. Dalam Islam worldview-nya wahyu ilahy yang
terbentuk dari metaphysical belief.[26] Dan
sebagaimana pula yang dibahasakan oleh O. Hasem dalam keesaan Tuhan, sebuah
pembahasan ilmiyah : sicience without religion is lame, religion without scince
is blind.[27]
Namun Epistemologi islamisasi Ilmu Pengetahuan,
menurut Fazlur Rahman secara orisinil sangat sulit dicapai, sehingga dia lebih
cenderung membahasakan Islamisasi dari daratan aksiologi (wilayah etika) bukan
pada ontologi maupun epistimologi.[28] Sebagaimana
pula Ziauddin Sardar bahwa intelektual Islam masa lampau tidak seorang pun yang
mengajukan pertanyaan fundametal seperti dari mana dan bagaimana, barasal dan
apa bentuk epstemologi Islam itu.[29]
Sedangkan menurut Prof. Dr. Ahmad Baiquni, secara
epistimologis, islamisasi ilmu pengetahuan tidak berarti kita harus mengubah
rumus-rumus reaksi kimia, yang kebenarannya telah terbukti melalui penelitian
ilmiah, melainkan kita harus memagari agar peserta didik tidak terjerumus ke
dalam ajaran-ajaran yang bertentangan dengan agama kita.[30]
KESIMPULAN
Sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan ditinjau
dari epitemologi adalah adanya suatu proses mendapatkan ilmu pengetahuan dengan
melepaskan dogma agama di satu sisi dan si sisi lain sebaliknya yakni proses
mendapatkan ilmu pengetahuan dengan landasan ajara-ajaran Islam.
Sekularisasi lahir dari pemberontakan ahli pikir
terhadap peraturan gereja yang sifatnya dogmatis, sedangkan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan lahir dari lepasnya ilmu dari akar ilahy dan dikosongkan dari
pertimbangan nilai.
Dari segi epitemologi sekularisasi berada pada tataran
rasionalisme dan empirisme, sedangkan Islamisasi adalah wahyu ilahy.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Farid, Agama dan Ilmu-Ilmu sosial,
dalam jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulmul Qur’an, No. 2 Vol V, 1994
Hasem, O, Keesaan Tuhan, Sebuah Pembahasan Ilmiyah,
Cet. III, Bandung, Pustaka Salman ITB, 1983
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Supermini,
Jakarta, Lembaga Alkitab Indonesia, 2002
Mahmud, Natsir, Epistimologi dan Study Kontemporer,
Makassar, tp, 2000
Majid, Nurcholis, Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan, Cet. XI, Bandung, Mizan 1998
Nasotion, Harun, Islam Rasional : Gagasan dan
Pemikiran, Cet V, Bandung, Mizan, 1998
Nihaya, Filafat Umum : Dari Yunani Kuno Sampai
Modern, Makassar, Berkah Utami, 1999
Praja, Juhaya S, Filsafat Ilmu, Jakarta, Teraju
2002
-------------------, Aliran-Aliran Filsafat dan
Etika, Cet. I, Bogor, Kencana, 2003
Qardhawi, Yusuf, at-Tatharufu al-‘Ilmani fi
Mujahawati al-Islam, diterjemahkan oleh Nabhani Idris dengan judul Sekuler
Ekstrim, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2000
Saifuddin, Ahmad M, Desekularisasi Pemikiran :
Landasan Islamisasi, Cet. IV,
Bandung, Mizan, 1998
Sudarsono, Ilmu Filsafat : Sebuah Pengantar,
Cet. II, Jakarta, PT. Benika Cipta, 2001
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Ed. III, Cet. II, Jakarta, Balai Pusat, 2002
Vagleria, Laura Veccia, Apologia Dell Islamismo,
diterjemahkan oleh Ahmady Daudy dengan judul Apologia Islam , Jakarta,
Bulan Bintang, 1983
Zain, Muhammad, Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Syech Muhammad Naquib al-Attas, Yogyakarta : LESISKA, 2001
Zarkazy , Hamid, Fahmy, Wordlview Sebagai Asas
Epistimologi Islam, Dalam Islamiah, Tahun II, No. 5, 2005
[1] Makalah dibuat guna memenuhi tugas akhir
Mata Kuliah Filsafat Ilmu pada program Pasca Sarjana Universitas Wahid Hasyim
Semarang
[2] Juhaya
S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Cet. I; Bogor : Kencana,
2003), h. 188. lihat pula Harun Nasotion, Islam Rasional : Gagasan dan
Pemikiran, Cet. V, (Bandung : Mizan, 1998), h. 188
[3] Yusup Qardhawi, at-Tathahurufu
al-‘Ilman fi Mujaahawati, diterjemahkan oleh Nahbani Idris dengan judul Sekuler
Ekstrim, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2000, h. 1
[4] Tim
Penyusun Kamus Pustaka Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. III,
(Cet. II; Jakarta : balai Pustaka, 2002), h. 1015
[5] Harun
Nasotion, Op. Cit.
[6] Juhaya
S. Praja, Op. Cit.
[7] Uraian
lebih lengkap lihat Norcholis Majid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan,
Cet. XI, (Bandung : Mizan, 1998), h. 47
[8] Farid
Alatas, Agama dan Ilmu-Ilmu Sosial, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan
Ulumul Qur’an, No. 2, Vol V, 1994, h. 41
[9] Ibid.
[10] Nihaya,
Filsafat Umum : Dari Yunani sampai Modern, (Makassar : Berkah Utami,
1999), h. 12
[11] Sudarsono,
Ilmu Filsafat : Suatu Pengantar, Cet. II (Jakarta : PT. Renika Ilmu
Pengetahuan, 2001), h. 137
[12] Nihaya,
op. cit, h. 43
[13] Yusup
Qardhawi, op. cit. h. 7
[14] Uraian
selanjutnya lihat Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Supermini, (Jakarta
: Lembaga Alkitab Indonesia, 2002), h.1
[15] G. J.
Holyoake (1817-1906 M). lahir di Birmingham Inggris, anak seorang pekerja
keras. Pendidikannya berawal dari agama, namun kehidupan remajanya diliputi
oleh situasi politik dan sosial ditempat kelahirannya yang keras, membentuk
pribadi yang bersikap gerakan protes terhadap sosial dan politik.
[16] Norcholis
Majid, op. cit, h. 78.
[17] Nihaya
, op. cit, h. 136
[18] Lihat
Natsir Mahmud, Epistimologi dan Study Kontemporer, (Makassar : tp,
2000), h. 1
[19] Ibid.
[20] Bandingkan
dengan Norcholis Majid, Islam Kemoderann , dan KeIndonesiaan, Cet. XI,
(Bandung : Mizan, 1998, h. 222-223 dan Harun Nasotion, Islam Rasional :
Gagasan dan Pemikiran, (Cet. V; Bandung : Mizan, 1988 h. 188.
[21] Lihat
Laura Veccia Vaglieri, Apologia Dell Islamismo diterjemahkan oleh Ahmad
Daudy dengan judul Apologi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1983), h. 80.
[22] Muhammad Zain, Proyek
Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syech Muhammad Naquib al-Attas, (Yogyakarta :
LESISKA, 2001), h. 1. perkembangan selanjutnya melahirkan pikiran-pikiran
Islamisasi dari para pemikir-pemikir muslim dan lembaga-lembaga Isla sebagai
literatur filsafat ilmu Islam dan Islamiasi pengetahuan. Lihat pula Juhaya S.
Praja, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Teraju, 202), h. 222-224
[23] Uraian
lengkap lihat QS. Al-Baqarah (2 : 34)
[24] Ahmad
M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran :Landasan Islamisasi, (cet. IV ;
Bandung : Mizan, 1998) h. 33
[25] lihat
Hamid Fahmy Zarkazy, Wordlview Sebagai Asas Epistimologi Islam, No. 5
(Surabaya : Islamiah, 2005), h. 9.
[27] Hasem,
Keesaan Tuhan, Sebuah Pembahasa Ilmiyah, Cet. IIII, (Bandung :
Pustaka Salman ITB, 1983), h. 1
[28] Saiful
Jihad, op. Cit., h. 9
[29] Ibid.
[30] Ahmad Baiquni, Sains dan Teknologi
dalam Perspektif al-Qur’an, Jurnal Inovasi, No. 08 Th. IV/1990, hal. 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar