Minggu, 08 Juli 2012

PERAN KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN IMAM AZZUHRI DALAM PEMBUKUAN HADITS




PENDAHULUAN
Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, dan berasal dari perkataan, persetujuan dan tindakan Nabi Muhamamd SAW. Dalam fungsinya sebagai sumber hukum Islam hadits berperan sangat penting dalam menjawab segala permasalahan ummat Islam setelah Al-Qur’an. Maka dari itu hadits harus selalu terjaga kemurnianya, bahkan dari penulisan, periwayatan hadits sangat diperhatikan. Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H.
Perkembangan hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash al-Qur’an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur’an. Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa Tabi’in Besar. Bahkan Khalifah Umar ibn Khattab sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan Khalifah yang lain. Periodisasi penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H). Di antara orang yang melakukan pembukuan hadits adalah imam Az-Zuhri.
PERMASALAHAN
                Sebagaimana judul tulisan ini, yaitu Peran Khalifah Umar Bin Abdul Aziz dan Imam Azzuhri dalam Pembukuan Hadits, maka yang penulis angkat sebagai permasalahan dalam makalah ini adalah ;
Siapakah Khalifah Umar bin Abdul Aziz?
Siapakah Imam Az-Zuhri?
Apa peranan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam penghimpunan hadits?
Apa peran Imam Az-Zuhri dalam penghimpunan hadits?

Biografi Umar Bin Abdul Aziz Dan Imam Az-Zuhri
Umar bin Abdul Aziz
Beliau adalah Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam bin Abil Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushoi bin Kilab, al-Qurosyi al-Madani.[1]
Ayah beliau yaitu Abdul Aziz bin Marwan adalah seorang yang pernah menjabat pemimpin di salah satu wilayah kota Mesir dan di sana pulalah beliau lahir, sedangkan ibu beliau adalah Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin Khaththab ra.
Beliau adalah seorang yang berkulit coklat sawo matang, berparas lembut, berbadan kurus, berjenggot rapi, bermata cekung, dan di wajahnya ada bekas luka karena tertanduk kuda.
Berkata Hamzah bin Sa'id, "Suatu hari Umar bin Abdul Aziz ingin menemui bapaknya sedang pada waktu itu dia masih bocah, lalu seekor kuda menanduknya sehingga melukainya, maka bapaknya sambil mengusap darah yang mengalir seraya mengatakan, 'Kalau engkau bisa menjadi orang Bani Umayyah yang paling kuat sungguh itu adalah keberuntungan.'
Dan di masa mudanya Umar bin Abdul Aziz lebih mengutamakan ilmu dari menyibukkan urusan kekuasaan dan jabatan, sehingga ia telah hafal al-Qur'an di masa kecilnya lalu beliau meminta kepada ayahnya agar mengizinkannya untuk melakukan rihlah (perjalanan jauh) dalam tholabul ilmi (menuntut ilmu). Maka berangkatlah ia ke Madinah, kota yang dahulu ditinggali Rasulullah SAW. Di sana beliau duduk belajar agama menimba ilmu akhlak dan adab kepada para fuqoha Madinah. Dan di sanalah pula beliau dikenal dengan ilmu dan kecerdasannya, sehingga Allah SWT menakdirkan kelak ia akan menjadi seorang pemimpin yang adil dan faqih dalam urusan agamanya.
Setelah ayahanda meninggal dunia beliau diminta untuk tinggal bersama pamannya yaitu Abdul Malik bin Marwan bahkan ia dinikahkan dengan putrinya yaitu Fathimah binti Abdul Malik bin Marwan.
Garis nasab beliau sebenarnya tidak berjalur darah kekhilafahan, karena beliau adalah putra dari Abdul Aziz bin Marwan sedang jalur kekhilafahan adalah pada nasab Abdul Malik bin Marwan. Namun takdir Allah SWT  di atas segalanya. Allah SWT menakdirkan kepemimpinan berpindah kepada beliau sekalipun beliau tidak pernah berambisi dan merebutnya, dan kepemimpinan beliau sangat mirip dengan kepemimpinan sahabat mulia Abu Bakr ash-Shiddiq ra, karena beliau hanya memerintah selama kurang lebih 2 tahun 5 bulan, namun beliau mampu mengembalikan kejayaan Islam setelah sebelumnya terpuruk dan terkalahkan oleh kezaliman para penguasa, maka ia mulai menata kepemimpinan, mengembalikan setiap kezaliman yang pernah dilakukan, mengangkat para pemimpin yang jujur dan amanah serta mencopot para pemimpin yang zalim lagi khianat maka dengan sebabnya Allah SWT memuliakan kembali agama ini, mengibarkan bendera Sunnah, memupus segala bentuk kebid'ahan sehingga Ahlus Sunnah mulia dan ahlul bid'ah menjadi hina dan terusir.
Meski hanya tiga tahun, jasanya begitu besar dalam membangun dan menyebarluaskan agama Islam. Umar bin Abdul Aziz adalah pemimpin umat yang adil dan bijaksana. Ia begitu jujur. Selama tiga tahun memimpin, semua rakyat yang berada dalam lindungan Dinasti Umayyah hidup berkecukupan alias sejahtera.
Baginya jabatan adalah ujian. Simak pidato kenegaraannya begitu diamanahi kursi khalifah, “Wahai saudara-saudara! Aku telah diuji untuk memegang tugas ini, tanpa meminta pandanganku terlebih dahulu dan bukan juga permintaanku serta tidak dibincangkan bersama dengan umat Islam. Sekarang aku membatalkan baiah yang kalian berikan kepadaku dan pilihlah seorang Khalifah yang kalian sukai”.[2]
Tiba-tiba orang-orang serentak berkata: “Kami telah memilihmu, wahai Amirul Mukminin dan kami ridha kepadamu. Maka uruslah urusan kami dengan kebaikan dan keberkatan”. Begitulah pemimpin yang sejati. Ia tak haus kekuasaan, apalagi mengejar jabatan dan kedudukan dengan menghalalkan segara cara. Umar adalah teladan bagi umat Islam.
Ia tak hanya menyejahterakan rakyatnya. Menurut Dr Syauqi, Umar bin Abdul Aziz juga sangat peduli dengan kelestarian lingkungan hidup. As-Suwaida menjadi saksi kepeduliannya. Daerah yang awalnya gersang itu ditanami Khalifah yang adil dan bijaksana itu ditanami dan dihijaukan dengan pepohonan.
‘’Khalifah Umar bin Abdul Aziz membiayai sendiri penanaman pohon di As-Suwaida dengan harta kekayaannya,’’ papar Dr Syauqi. Tak cuma itu, ia juga membuat sumur di As-Suwaida. Ia hidup sederhana, dengan pendapatan sebesar 200 dinar dan sekantung buah kurma.


Imam Az-Zuhri
Nama lengkap imam Azzuhri adalah Muhammad bin Muslim bin Abdillah bin Syihab bin Abdillah bin Al-Harits bin Zuhrah bin Kitab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib. Dia adalah seorang Imam yang luas ilmunya, al-Hafizh di zamannya, Abu Bakar  Al-Qurasy Az-Zuhri  al-Madani. Dia bertempat tinggal di Syam. Kelahirannya. Duhaim dan Ahmad bin Shaleh berkata, “ Dia lahir pada tahun 50 Hijriyah, “Khulaifah bin Khayyat berkata, “Dia dilahirkan pada tahun 51 Hijriyah.[3]             
Sifat-sifatnya: Muhammad bin Yahya bin Abi Umar dari Sufyan berkata, “aku pernah melihat Az-Zuhri dengan rambut dan jenggotnya yang berwarna kemerah-merahan.” Adz-Dzahabi berkata, “Dia adalah orang yang terhormat dan senang memakai pakaian militer, mempunyai perangai yang baik dalam pemerintahan Bani Umayyah.[4]
Senjungan Para Ulama terhadapnya
Dari Amr bin Dinar, dia berkata, “Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih mendalami ilmu hadits dari Ibnu Syihab.[5]
Umar bin Abdul Aziz bertanya, “apakah kalian mau menemui Ibnu Syihab (Imam Az-Zuhri)?” mereka menjawab, “Kami akan melakukannya.” Dia berkata, “Temuilah dia, karena sesungguhnya tidak ada yang tersisa saat ini  orang yang lebih tahu tentang sunnah Rasulullah Saw daripadanya.”
Dari Ad-Darawardi dia berkata, “sesungguhnya orang yang pertama kali menyusun dan membukukan ilmu pengetahuan adalah Ibnu Syihab (Imam Az-Zuhri).
Dari Ahmad bin Hambal, dia berkata, “az-Zuhri adalah orang yang paling kompeten dalam hadits dan yang paling baik sanadnya.”[6]
Sebab-sebab keunggulannya di Bidang Ilmu Pengetahuan
Kekuatan kekuatannya Hafalannya
Adz-Dzahabi berkata, “Dari kehebatan hafalan Az-Zuhri adalah dia menghafal Al-Qur’an dalam 80 malam. Hal ini dikisahkan darinya oleh keponakannya Muhammad bin Abdillah.[7]
Dari Abdurrahman bin Ishaq dari Az-Zuhri, dia berkata, “Aku sama sekali belum pernah mengulangi sebuah hadits dan juga tidak ragu dalam menghafalnya kecuali hanya satu saja, kemudian aku menanyakannya kepada temanku dan ternyata hadits itu memang seperti yang telah aku hafal.[8]
Dia menulis Semua Apa yang Didengarnya
Dari Abdurrahman bin Abi Az-Zinad dari ayahnya, dia berkata, “Aku saat itu sedang melakukan Thawaf bersama dengan Ibnu Syihab. Ibn Syihab membawa selembar kertas dan papan tulis, dia berkata “Dan kami tertawa bersama karenanya.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan, “kami saat itu sedang belajar dan menulis tentang halal dan haram dan ibn Syihab. Ibnu Syihab membawa selembar kertas dan papan tulis, dia berkata, “Dan kami tertawa bersama-sama karenanya”.[9]
Selalu Mengulang dan Mempelajarinya
Dari Al-Auza’I dari Az-Zuhri, dia berkata, “Ilmu pengetahuan sirna karena penyakit lupa dan tidak mempelajarinya.”
Dari Ya’kub bin Abdirrahman, dia berkata, “Sesungguhnya Az-Zuhri pernah menuntut ilmu kepada Urwah dan yang lain, kemudian dia  membangunkan seorang budak perempuannya yang masih tertidur, lalu dia berkata kepadanya. “si Fulan sedang begini, begini.” Si budak itu berkata, “Apa ini?” dia kemudian berkata, “Aku telah tahu bahwa kamu tidak dapat memanfaatkannya, akan tetapi aku sudah mendengar dan aku ingin mengingatnya (mempelajarinya)”
Sering Berteman dan Mendekati kepada Orang yang Berilmu Serta Memberikan Sedikit Banyak Pengabdian Kepada Mereka
Dari malik bin Anas dari Az-Zuhri, dia berkata, “Aku pernah mengabdi kepada Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah, hingga suatu ketika aku ingin menemaninya keluar dan aku menunggunya di balik pintunya. Dia berseru, “siapa yang mengetuk pintu?” seorang budak perempuannya berkata, “pembantu anda!” sang pembantu mengira bahwa aku adalah pembantuhnya, walaupun aku hanya mengambdi kepadanya hingga mengambilkan air wudhu untuknya.”
Memuliakan Orang yang berilmu
 Dari Sufyan, dia berkata, “Aku pernah mendengar Az-Zuhri mengatakan, “Si Fulan telah memberitahukan, dia ini seorang yang peduli dengan ilmu pengetahuan, “dia tidak mengatakan, “Dia seorang yang berilmu pengetahuan.”
Berusaha untuk melakukan hal-hal yang dapat membantu hafalan dan menghindari kelupaan
Dari Ibn Wahb dari Al-Laits, “Dia berkata bahwa Ibn Syihab pernah berkata, “Aku belum pernah menghafal sesuatu pun lalu begitu saja.” Dia tidak senang makan buah apel dan sering meminum madu. Dia mengatakan bahwa meminum madu akan membantu daya ingatan.”
Kemurahan hati dan kemuliannya
Ibnu Syihab berkata, “Wahai Fulan, pijatlah aku seperti biasanya, dan akan aku lipatkan upahmu seperti yang kamu ketahui.” Dia senang memberikan makan kepada banyak orang yang membutuhkan dan member mereka minuman madu.”
 Guru dan Murid-muridnya
Guru-gurunya: Dia meriwatkan dari Sahl bin Sa’ad, Anas bin Malik dan dia bertemu dengan mereka berdua ini di Damaskus. Dia juga meriwayatkan dari As-Sa’ib dari Yazid, Abdullah bin Tsa’labah bin Sughair, Mahmud bin Ar-Rabi’, Mahmud bin Lubaid, dll.
Murid-muridnya: Adz-Dzahabi berkata, “beberapa orang yang meriwayatkan darinya antara lain; Atha’ bin Abi Rabah, dia lebih tua darinya dan meninggal dunia dua puluh-an lebih dulu sebelum dia meninggal. Amr bin Dinar, Amr bin Syu’aib, Qatadah bin Du’amah, Zaid bin Aslam, Tha’ifah, Manshur bin Al-Mu’tamir, Ayyub As-Sakhtiani dll.[10]
Peran Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Sewaktu menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadits dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia sebagai syuhada’. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadits dari para perawinya, mungkin hadits-hadits itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghafalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi dari para penghafal yang masih hidup.
Untuk mewujudkan keinginannya, setelah melakukan ijtihad, pada tahun 100 H Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadits-hadits Nabi yang terdapat pada para penghafal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang Artinya: “Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadits Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.“[11]
Dan dalam intsruksi tersebut, Umar memerintahkan Ibn Hazm untuk menuliskan hadits yang berasal dari :
Koleksi Inb Hazm sendiri,
Amrah binti Abd ar-Rahman (w.98 H), seorang faqih dan muridnya syaidah Aisyah r.a.
Al-Qasim Ibn Abu Bakar al-Shiddiq (w. 107 H) seorang pemuka tabi’in dan salah seorang suqaha yang tujuh. Ibn Hasim melaksanakan tugasnya dengan baik, dan tugas yang serupa juga dilaksanakan oleh Muhammad Ibn Syiihab al-Zuhri (w. 124 H), seorang ulama’ besar Hijaz dan Syam, kedua ulama’ di ataslah sebagai pelopor dalam kodifikasi hadits berdasarkan perintah Klahifah Umar bin Abdul Aziz.[12]

Dalam posisi ini, sangat jelas bahwa Khalifah Umar sangat berperan dalam upaya penghimpunan hadits. Beliau menghendaki agar semua hadits nabi Muhammad SAW dapat ditulis kembali dengan selektif dan jangan sampai tercampur dengan yang selain hadits dari Nabi SAW. Umar bin Abdul Aziz mengetahui dengan pasti, bahwa sebagai seorang khalifah tentu perintahnya akan dipatuhi oleh para gubernur dan para ulama’ penghafal hadits di seluruh penjuru negeri. Sekalipun belum maksimal hasilnya, saat itu, tentu inisiatif (baca: ijtihad) beliau sangat penting bagi pelestarian hadits Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an.

Peran Imam Azzuhri
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadits. Bahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri untuk melakukan penulisan hadits. Menerima perintah dari sang khalifah, Imam Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah tersebut dengan menulis semua hafalan hadits beliau. Imam Az-Zuhri inilah merupakan salah satu ulama yang pertama kali penulisan hadits.[13]
Dipilihnya Imam Azzuhri tentu bukan tanpa alasan, walaupun tentu banyak ahli hadits selain beliu. Hisyam bin Abdul Malik, Khalifah Kesepuluh Daulat Umayyah sebelum Umar bin Abdul Aziz, suatu waktu ingin menguji seberapa kuat hapalan Imam az-Zuhri. Sang Khalifah ingin az-Zuhri mendiktekan hadits kepada anaknya dengan dibantu seorang juru tulis tanpa melihat catatan. Dengan lancarnya Imam az-Zuhri mendiktekan empat ratus hadits Rasulullah SAW.
Beberapa bulan kemudian, Khalifah Hisyam kembali memanggil Imam az-Zuhri. Kepadanya Khalifah berpura-pura menyatakan kekecewaannya lantaran hilangnya catatan empat ratus hadits beberapa waktu yang lalu yang didiktekan sang Imam. Menanggapi keluhan tersebut, Imam az-Zuhri menjawab, "Anda tidak usah khawatir, saya masih cukup segar menghafalnya. Yang penting siapkan saja jurutulis untuk saya diktekan lagi!"
Setelah segalanya siap, Imam az-Zuhri mulai mendiktekan empat ratus hadits yang kata sang Khalifah hilang. Si juru tulis mencatatnya dengan cermat setiap kata yang keluar dari lisan sang Imam. Setelah selesai, diserahkanlah catatan itu kepada Khalifah Hisyam.
Khalifah mengecek dan mengkonfrontasikan dokumen baru itu dengan catatan lamanya. Ternyata hasilnya luar biasa. Tak ada satu kata pun yang berbeda antara catatan yang lama dan yang baru. Kedua catatan yang berisi empat ratus hadits itu persis sama. Atas dasar itulah Khalifah Hisyam menyuruh sang Imam mengajarkan hadits kepada anaknya.[14]
Banyak hal yang bisa kita teladani dari sosok perawi hadits ini. Di antaranya, ketajaman otaknya dan kekuatan hapalannya yang tak tertandingi. Dengan kekuatan hapalan yang luar biasa itu, Imam az-Zuhri berhasil menghafal al-Quran hanya dalam waktu delapan puluh satu hari, sungguh luar biasa.
Selain itu, Imam az-Zuhri merupakan sosok pengabdi hadits sejati. Ia mempunyai kumpulan hadits yang jumlahnya mencapai dua ribu lebih. Ia juga mengkader murid-muridnya dengan jalan mengajar, membiayai, dan memfasilitasi segela keperluan yang mereka butuhkan. Dalam hal ini Imam Malik menuturkan, Imam az-Zuhri mengumpulkan orang-orang yang belajar hadits dan memberikan makanan dan perlengkapan lainnya dalam musim dingin atau musim panas.
Imam Malik sendiri pernah memberikan kesaksian akan kewibawaan Imam az-Zuhri, gurunya. "Jika Imam az-Zuhri memasuki Madinah, tak seorang pun ahli hadits yang berani menyampaikan hadits di depannya sampai ia beranjak keluar dari kota itu," papar Imam Malik.[15]
Masih menurut Imam Malik, jika sejumlah ulama senior datang ke Madinah, orang-orang tidak begitu antusias menyambut mereka dibandingkan dengan kedatangan Imam az-Zuhri. Jika Imam besar ini datang, maka penduduk pun beramai-ramai memohon fatwanya.
Pakar hadits yang bernama asli Muhammad bin Syihab az-Zuhri ini lahir pada 50 H pada periode akhir masa sahabat. Meskipun demikian ia sempat bertemu dengan beberapa sahabat ternama. Di antaranya mereka adalah Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, dan Sahal bin Saad. Mereka adalah ahli di bidang hadits.
Disamping itu ia juga masih mendapatkan rujukan lain dari para tabiin senior seperti Abu Idris al-Khaulani, Salim bin Abdullah bin Umar, Said bin Musayyab, dan lainnya. Imam az-Zuhri wafat pada 124 H. Sangat disayangkan, buah koleksi haditsnya hilang tak tentu rimba. Kita kehilangan perbendaharaan ilmu yang berharga melebihi emas dan perak.
Sebagian besar hadits yang diriwayatkan oleh Imam Azzuhri jarang diriwayatkan orang lain. Dengan demikian, haditsnya akan melengkapi dan memperkaya hadits lain. Imam az-Zuhri amat cermat menilai sanad hadits. Dialah yang mendorong agar perawi menyebutkan sanad ketika meriwayatkan hadits. Sebab, tanpa sanad siapa pun bisa berbicara apa saja yang dimaui tanpa diketahui apakah itu hadits shahih atau bukan.[16]


Metode Sanad dan isnad
Dari Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, yang di samping pembukuan hadits sekaligus dilakukan usaha menyeleksi hadits-hadits yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.
Metode sanad dan isnad ialah metode yang digunakan untuk menguji sumber-sumber pembawa berita hadits (perawi) dengan mengetahui keadaan para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan di mana ia hidup, kawan semasa, bagaimana daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya. Ilmu tersebut dibahas dalam ilmu yang dinamakan ilmu hadits Dirayah, yang kemudian terkenal dengan ilmu Mustalahul hadits.[17]
Setelah generasi Az-Zuhri, kemudian pembukuan hadits dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H), Ar-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H) dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan hadits dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempuma. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H. dilakukan upaya penyempunaan.  Mulai waktu itu kelihatan gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan hadits-hadits Rasul SAW. Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang sampai kepada kita, antara lain AI-Muwatha‘ oleh imam Malik (w 179 H), Al Musnad oleh Imam Asy-Syafi’i (w 204 H).
Pembukuan hadits itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh Imam-lmam ahli hadits, seperti Bukhari, Muslim, Turmuzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain.


PENUTUP
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, Khalifah Umar  bin Abdul Aziz memiliki peran yang sangat penting dalam usaha pembukuan hadits. Sebagai seorang kepala negara, beliau berinisiatif untuk menghimpun, menulis dan membukukan hadits-hadits nabi SAW agar tidak hilang bersama dengan meninggalnnya para penghafal hadits dengan memerintahkan para gubernur dan Imam ahli hadits. Diantara ulama’ penghafal hadits yang menerima perintah sang khalifah adalah Imam Azzuhri.
Imam Azzuhri merupakan ulama’ ahli hadits yang sangat dalam perhatiannya pada pelestarian hadits-hadits nabi SAW. Imam Azzuhri pula yang merupakan ulama’ penulis dan penghimpun hadits yang pertama. Dalam menulis hadits, beliau menggunakan metode sanad dan isnad.
Berkat dari usaha yang dirintis oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Imam Azzuhri tersebut, hadits-hadits Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum Islam selain al-Qur’an sampai sekarang masih dapat dilestarikan dan dijadikan hujjah oleh umat Islam.




DAFTAR PUSTAKA




Al-Atsari, Ustadz Abu Faiz, Umar Bin Abdul Aziz Kholifah pembela sunnah dan penegak keadilan, dalam Majalah Al-Furqon No.114 Ed 11 Th. Ke-10_1432 H.
Adz-Dzahabi, Sirah A’lam An-Nubala’. Ar-Risalah 5
Adz-Dzahabi, Tarikh Al-Islam, ditahqiq Dr. Abdussalam Tadammuri. Dar Al-Kitab Al-Arabi.
Abu Nua’im Al-Ashbihani, Hilyah Al-Auliya’,. Maktabah As-Sa’adah.
Adz-Dzahabi, Tadzkirah Al-Huffazh. Dar Al-Fikr Al-Arabi.
Al-Mizzi, Jamaluddin, Tahdzib Al-Kamal. Dar Ar-Risalah.
Solahudin, Drs. M., M.Ag dan Agus Suyadi, L.C., M.A., Ulumul Hadits,Cet. II, Bandung, Pustaka Setia, 2011.
Ismail, M. Shuhudi, (terj), Metodologi Penelitian Hadist, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.
Ismail, M. Shuhudi,  Hadist Nabi dan sejarah Kodifikasinya, Jakarta, Pustaka Firdaus.1994.



[1] Ustadz Abu Faiz Al-Atsari, Umar Bin Abdul Aziz Kholifah pembela sunnah dan penegak keadilan, dalam Majalah Al-Furqon No.114 Ed 11 Th. Ke-10_1432 H. Lihat juga http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/12/01/05/lxb52o-melacak-jejak-assuwa ida-umar-bin-abdul-aziz-dan-assuwaida-bag-terakhir

[3] Adz-Dzahabi, Sirah A’lam An-Nubala’. Ar-Risalah 5/ 326.
[4] Adz-Dzahabi, Tarikh Al-Islam, ditahqiq Dr. Abdussalam Tadammuri. Dar Al-Kitab Al-Arabi.
[5] Abu Nua’im Al-Ashbihani, Hilyah Al-Auliya’,. Maktabah As-Sa’adah.
[6] Adz-Dzahabi, Sirah A’lam An-Nubala’.5, Op. Cit.,  hal. 334.
[7] Adz-Dzahabi, Tadzkirah Al-Huffazh. Dar Al-Fikr Al-Arabi, hal. 110.
[8] Ibid., hal. 111
[9] Jamaluddin Al-Mizzi, Tahdzib Al-Kamal. Dar Ar-Risalah, hal. 26/433.
[10] Adz-Dzahabi, Shirah A’lam, Op.Cit., 5, hal. 327-328.
[11] Drs. M. Solahudin, M.Ag dan Agus Suyadi, L.C., M.A., Ulumul Hadits,Cet. II, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 62. Lihat juga M. Shuhudi Ismail, (terj), Metodologi Penelitian Hadist, (Jakarta, Bulan Bintang, 1992) hal.16
[12] M. Shuhudi Ismail,  Hadist Nabi dan sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus.1994) hal.106
[13] Ibid., hal. 63
[15] Ibid.
[17] Drs. M. Solahudin, M.Ag dan Agus Suyadi, L.C., M.A., Op. Cit. hal. 63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar