PENDAHULUAN
Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an, dan berasal dari perkataan, persetujuan dan tindakan Nabi Muhamamd
SAW. Dalam fungsinya sebagai sumber hukum Islam hadits berperan sangat penting
dalam menjawab segala permasalahan ummat Islam setelah Al-Qur’an. Maka dari itu
hadits harus selalu terjaga kemurnianya, bahkan dari penulisan, periwayatan
hadits sangat diperhatikan. Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum
dalam Islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak
dari masa pra-kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah
pembukuan pada abad ke-2 H.
Perkembangan hadits pada masa awal lebih
banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadits.
Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash
al-Qur’an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi pada para
sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur’an. Larangan tersebut berlanjut
sampai pada masa Tabi’in Besar. Bahkan Khalifah Umar ibn Khattab sangat
menentang penulisan hadits, begitu juga dengan Khalifah yang lain. Periodisasi
penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan
Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H). Di antara orang yang melakukan
pembukuan hadits adalah imam Az-Zuhri.
PERMASALAHAN
Sebagaimana
judul tulisan ini, yaitu Peran Khalifah Umar Bin Abdul Aziz dan Imam Azzuhri
dalam Pembukuan Hadits, maka yang penulis angkat sebagai permasalahan dalam
makalah ini adalah ;
Siapakah Khalifah Umar bin Abdul Aziz?
Siapakah Imam Az-Zuhri?
Apa peranan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam
penghimpunan hadits?
Apa peran Imam Az-Zuhri dalam penghimpunan
hadits?
Biografi Umar Bin Abdul Aziz Dan Imam Az-Zuhri
Umar bin Abdul Aziz
Beliau adalah Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam
bin Abil Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushoi bin Kilab,
al-Qurosyi al-Madani.[1]
Ayah beliau yaitu Abdul Aziz bin Marwan adalah
seorang yang pernah menjabat pemimpin di salah satu wilayah kota Mesir dan di
sana pulalah beliau lahir, sedangkan ibu beliau adalah Ummu Ashim binti Ashim
bin Umar bin Khaththab ra.
Beliau adalah seorang yang berkulit coklat sawo
matang, berparas lembut, berbadan kurus, berjenggot rapi, bermata cekung, dan
di wajahnya ada bekas luka karena tertanduk kuda.
Berkata Hamzah bin Sa'id, "Suatu hari Umar
bin Abdul Aziz ingin menemui bapaknya sedang pada waktu itu dia masih bocah,
lalu seekor kuda menanduknya sehingga melukainya, maka bapaknya sambil mengusap
darah yang mengalir seraya mengatakan, 'Kalau engkau bisa menjadi orang Bani
Umayyah yang paling kuat sungguh itu adalah keberuntungan.'
Dan di masa mudanya Umar bin Abdul Aziz lebih
mengutamakan ilmu dari menyibukkan urusan kekuasaan dan jabatan, sehingga ia
telah hafal al-Qur'an di masa kecilnya lalu beliau meminta kepada ayahnya agar
mengizinkannya untuk melakukan rihlah (perjalanan
jauh) dalam tholabul ilmi (menuntut ilmu). Maka
berangkatlah ia ke Madinah, kota yang dahulu ditinggali Rasulullah SAW. Di
sana beliau duduk belajar agama menimba ilmu akhlak dan adab kepada para fuqoha
Madinah. Dan di sanalah pula beliau dikenal dengan ilmu dan kecerdasannya,
sehingga Allah SWT menakdirkan kelak ia akan
menjadi seorang pemimpin yang adil dan faqih dalam urusan agamanya.
Setelah ayahanda meninggal dunia beliau diminta
untuk tinggal bersama pamannya yaitu Abdul Malik bin Marwan bahkan ia
dinikahkan dengan putrinya yaitu Fathimah binti Abdul Malik bin Marwan.
Garis nasab beliau sebenarnya tidak berjalur
darah kekhilafahan, karena beliau adalah putra dari Abdul Aziz bin Marwan sedang jalur
kekhilafahan adalah pada nasab Abdul Malik bin
Marwan. Namun takdir Allah SWT di atas segalanya. Allah SWT
menakdirkan kepemimpinan berpindah kepada beliau sekalipun beliau tidak pernah
berambisi dan merebutnya, dan kepemimpinan beliau sangat mirip dengan
kepemimpinan sahabat mulia Abu Bakr ash-Shiddiq ra,
karena beliau hanya memerintah selama kurang lebih 2 tahun 5 bulan, namun
beliau mampu mengembalikan kejayaan Islam setelah sebelumnya terpuruk dan
terkalahkan oleh kezaliman para penguasa, maka ia mulai menata kepemimpinan,
mengembalikan setiap kezaliman yang pernah dilakukan, mengangkat para pemimpin
yang jujur dan amanah serta mencopot para pemimpin yang zalim lagi khianat maka
dengan sebabnya Allah SWT memuliakan
kembali agama ini, mengibarkan bendera Sunnah, memupus segala bentuk kebid'ahan
sehingga Ahlus Sunnah mulia dan ahlul bid'ah menjadi hina dan terusir.
Meski hanya tiga tahun, jasanya begitu besar
dalam membangun dan menyebarluaskan agama Islam. Umar bin Abdul Aziz adalah
pemimpin umat yang adil dan bijaksana. Ia begitu jujur. Selama tiga tahun
memimpin, semua rakyat yang berada dalam lindungan Dinasti Umayyah hidup
berkecukupan alias sejahtera.
Baginya jabatan adalah ujian. Simak pidato
kenegaraannya begitu diamanahi kursi khalifah, “Wahai saudara-saudara! Aku
telah diuji untuk memegang tugas ini, tanpa meminta pandanganku terlebih dahulu
dan bukan juga permintaanku serta tidak dibincangkan bersama dengan umat Islam.
Sekarang aku membatalkan baiah yang kalian berikan kepadaku dan pilihlah
seorang Khalifah yang kalian sukai”.[2]
Tiba-tiba orang-orang serentak berkata: “Kami
telah memilihmu, wahai Amirul Mukminin dan kami ridha kepadamu. Maka uruslah
urusan kami dengan kebaikan dan keberkatan”. Begitulah pemimpin yang sejati. Ia
tak haus kekuasaan, apalagi mengejar jabatan dan kedudukan dengan menghalalkan
segara cara. Umar adalah teladan bagi umat Islam.
Ia tak hanya menyejahterakan rakyatnya.
Menurut Dr Syauqi, Umar bin Abdul Aziz juga sangat peduli dengan kelestarian
lingkungan hidup. As-Suwaida menjadi saksi kepeduliannya. Daerah yang awalnya
gersang itu ditanami Khalifah yang adil dan bijaksana itu ditanami dan
dihijaukan dengan pepohonan.
‘’Khalifah Umar bin Abdul Aziz membiayai
sendiri penanaman pohon di As-Suwaida dengan harta kekayaannya,’’ papar Dr
Syauqi. Tak cuma itu, ia juga membuat sumur di As-Suwaida. Ia hidup sederhana,
dengan pendapatan sebesar 200 dinar dan sekantung buah kurma.
Imam Az-Zuhri
Nama lengkap imam Azzuhri adalah Muhammad bin
Muslim bin Abdillah bin Syihab bin Abdillah bin Al-Harits bin Zuhrah bin Kitab
bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib. Dia adalah seorang Imam yang luas
ilmunya, al-Hafizh di zamannya, Abu Bakar Al-Qurasy Az-Zuhri
al-Madani. Dia bertempat tinggal di Syam. Kelahirannya. Duhaim dan Ahmad bin
Shaleh berkata, “ Dia lahir pada tahun 50 Hijriyah, “Khulaifah bin Khayyat
berkata, “Dia dilahirkan pada tahun 51 Hijriyah.[3]
Sifat-sifatnya: Muhammad bin Yahya bin Abi
Umar dari Sufyan berkata, “aku pernah melihat Az-Zuhri dengan rambut dan
jenggotnya yang berwarna kemerah-merahan.” Adz-Dzahabi berkata, “Dia adalah
orang yang terhormat dan senang memakai pakaian militer, mempunyai perangai
yang baik dalam pemerintahan Bani Umayyah.[4]
Senjungan Para Ulama terhadapnya
Dari Amr bin Dinar, dia berkata, “Aku belum
pernah melihat seorang pun yang lebih mendalami ilmu hadits dari Ibnu Syihab.[5]
Umar bin Abdul Aziz bertanya, “apakah kalian
mau menemui Ibnu Syihab (Imam Az-Zuhri)?” mereka menjawab, “Kami akan
melakukannya.” Dia berkata, “Temuilah dia, karena sesungguhnya tidak ada yang
tersisa saat ini orang yang lebih tahu tentang sunnah Rasulullah Saw
daripadanya.”
Dari Ad-Darawardi dia berkata, “sesungguhnya
orang yang pertama kali menyusun dan membukukan ilmu pengetahuan adalah Ibnu
Syihab (Imam Az-Zuhri).
Dari Ahmad bin Hambal, dia berkata, “az-Zuhri
adalah orang yang paling kompeten dalam hadits dan yang paling baik sanadnya.”[6]
Sebab-sebab keunggulannya di Bidang Ilmu
Pengetahuan
Kekuatan kekuatannya Hafalannya
Adz-Dzahabi berkata, “Dari kehebatan hafalan
Az-Zuhri adalah dia menghafal Al-Qur’an dalam 80 malam. Hal ini dikisahkan
darinya oleh keponakannya Muhammad bin Abdillah.[7]
Dari Abdurrahman bin Ishaq dari Az-Zuhri, dia
berkata, “Aku sama sekali belum pernah mengulangi sebuah hadits dan juga tidak
ragu dalam menghafalnya kecuali hanya satu saja, kemudian aku menanyakannya
kepada temanku dan ternyata hadits itu memang seperti yang telah aku hafal.[8]
Dia menulis Semua Apa yang Didengarnya
Dari Abdurrahman bin Abi Az-Zinad dari
ayahnya, dia berkata, “Aku saat itu sedang melakukan Thawaf bersama dengan Ibnu
Syihab. Ibn Syihab membawa selembar kertas dan papan tulis, dia berkata “Dan
kami tertawa bersama karenanya.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan, “kami saat
itu sedang belajar dan menulis tentang halal dan haram dan ibn Syihab. Ibnu
Syihab membawa selembar kertas dan papan tulis, dia berkata, “Dan kami tertawa
bersama-sama karenanya”.[9]
Selalu Mengulang dan Mempelajarinya
Dari Al-Auza’I dari Az-Zuhri, dia berkata,
“Ilmu pengetahuan sirna karena penyakit lupa dan tidak mempelajarinya.”
Dari Ya’kub bin Abdirrahman, dia berkata,
“Sesungguhnya Az-Zuhri pernah menuntut ilmu kepada Urwah dan yang lain,
kemudian dia membangunkan seorang budak perempuannya yang masih tertidur,
lalu dia berkata kepadanya. “si Fulan sedang begini, begini.” Si budak itu
berkata, “Apa ini?” dia kemudian berkata, “Aku telah tahu bahwa kamu tidak
dapat memanfaatkannya, akan tetapi aku sudah mendengar dan aku ingin
mengingatnya (mempelajarinya)”
Sering Berteman dan Mendekati kepada Orang
yang Berilmu Serta Memberikan Sedikit Banyak Pengabdian Kepada Mereka
Dari malik bin Anas dari Az-Zuhri, dia
berkata, “Aku pernah mengabdi kepada Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah, hingga
suatu ketika aku ingin menemaninya keluar dan aku menunggunya di balik
pintunya. Dia berseru, “siapa yang mengetuk pintu?” seorang budak perempuannya
berkata, “pembantu anda!” sang pembantu mengira bahwa aku adalah pembantuhnya,
walaupun aku hanya mengambdi kepadanya hingga mengambilkan air wudhu untuknya.”
Memuliakan Orang yang berilmu
Dari Sufyan, dia berkata, “Aku pernah
mendengar Az-Zuhri mengatakan, “Si Fulan telah memberitahukan, dia ini seorang
yang peduli dengan ilmu pengetahuan, “dia tidak mengatakan, “Dia seorang yang
berilmu pengetahuan.”
Berusaha untuk melakukan hal-hal yang dapat
membantu hafalan dan menghindari kelupaan
Dari Ibn Wahb dari Al-Laits, “Dia berkata
bahwa Ibn Syihab pernah berkata, “Aku belum pernah menghafal sesuatu pun lalu
begitu saja.” Dia tidak senang makan buah apel dan sering meminum madu. Dia
mengatakan bahwa meminum madu akan membantu daya ingatan.”
Kemurahan hati dan kemuliannya
Ibnu Syihab berkata, “Wahai Fulan, pijatlah
aku seperti biasanya, dan akan aku lipatkan upahmu seperti yang kamu ketahui.”
Dia senang memberikan makan kepada banyak orang yang membutuhkan dan member
mereka minuman madu.”
Guru
dan Murid-muridnya
Guru-gurunya: Dia meriwatkan dari Sahl bin
Sa’ad, Anas bin Malik dan dia bertemu dengan mereka berdua ini di Damaskus. Dia
juga meriwayatkan dari As-Sa’ib dari Yazid, Abdullah bin Tsa’labah bin Sughair,
Mahmud bin Ar-Rabi’, Mahmud bin Lubaid, dll.
Murid-muridnya: Adz-Dzahabi berkata, “beberapa
orang yang meriwayatkan darinya antara lain; Atha’ bin Abi Rabah, dia lebih tua
darinya dan meninggal dunia dua puluh-an lebih dulu sebelum dia meninggal. Amr
bin Dinar, Amr bin Syu’aib, Qatadah bin Du’amah, Zaid bin Aslam, Tha’ifah,
Manshur bin Al-Mu’tamir, Ayyub As-Sakhtiani dll.[10]
Peran Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Sewaktu menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz sangat
waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadits dalam ingatannya
semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia sebagai syuhada’. Beliau
khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadits
dari para perawinya, mungkin hadits-hadits itu akan lenyap bersama lenyapnya
para penghafalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan
hadits-hadits Nabi dari para penghafal yang masih hidup.
Untuk mewujudkan keinginannya, setelah
melakukan ijtihad, pada tahun 100 H Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkah
kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya
membukukan hadits-hadits Nabi yang terdapat pada para penghafal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu
Bakar bin Hazm yang Artinya: “Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari
hadits Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan
meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadits Rasul SAW dan hendaklah
disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak
mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.“[11]
Dan dalam
intsruksi tersebut, Umar memerintahkan Ibn Hazm untuk menuliskan hadits yang
berasal dari :
Koleksi Inb
Hazm sendiri,
Amrah binti
Abd ar-Rahman (w.98 H), seorang faqih dan muridnya syaidah Aisyah r.a.
Al-Qasim Ibn
Abu Bakar al-Shiddiq (w. 107 H) seorang pemuka tabi’in dan salah seorang suqaha
yang tujuh. Ibn Hasim melaksanakan tugasnya dengan baik, dan tugas yang serupa
juga dilaksanakan oleh Muhammad Ibn Syiihab al-Zuhri (w. 124 H), seorang ulama’
besar Hijaz dan Syam, kedua ulama’ di ataslah sebagai pelopor dalam kodifikasi
hadits berdasarkan perintah Klahifah Umar bin Abdul Aziz.[12]
Dalam posisi
ini, sangat jelas bahwa Khalifah Umar sangat berperan dalam upaya penghimpunan
hadits. Beliau menghendaki agar semua hadits nabi Muhammad SAW dapat ditulis
kembali dengan selektif dan jangan sampai tercampur dengan yang selain hadits
dari Nabi SAW. Umar bin Abdul Aziz mengetahui dengan pasti, bahwa sebagai
seorang khalifah tentu perintahnya akan dipatuhi oleh para gubernur dan para
ulama’ penghafal hadits di seluruh penjuru negeri. Sekalipun belum maksimal
hasilnya, saat itu, tentu inisiatif (baca: ijtihad) beliau sangat penting bagi
pelestarian hadits Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum Islam kedua setelah
al-Qur’an.
Peran Imam Azzuhri
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga
menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadits. Bahkan, Khalifah
Umar bin Abdul Aziz, secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin
Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri untuk melakukan penulisan hadits. Menerima
perintah dari sang khalifah, Imam Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah tersebut
dengan menulis semua hafalan hadits beliau. Imam Az-Zuhri inilah merupakan
salah satu ulama yang pertama kali penulisan hadits.[13]
Dipilihnya Imam Azzuhri tentu bukan tanpa alasan,
walaupun tentu banyak ahli hadits selain beliu. Hisyam bin Abdul Malik,
Khalifah Kesepuluh Daulat Umayyah sebelum Umar bin Abdul Aziz, suatu waktu ingin
menguji seberapa kuat hapalan Imam az-Zuhri. Sang Khalifah ingin az-Zuhri
mendiktekan hadits kepada anaknya dengan dibantu seorang juru tulis tanpa
melihat catatan. Dengan lancarnya Imam az-Zuhri mendiktekan empat ratus hadits
Rasulullah SAW.
Beberapa bulan kemudian, Khalifah Hisyam kembali
memanggil Imam az-Zuhri. Kepadanya Khalifah berpura-pura menyatakan
kekecewaannya lantaran hilangnya catatan empat ratus hadits beberapa waktu yang
lalu yang didiktekan sang Imam. Menanggapi keluhan tersebut, Imam az-Zuhri
menjawab, "Anda tidak usah khawatir, saya masih cukup segar menghafalnya.
Yang penting siapkan saja jurutulis untuk saya diktekan lagi!"
Setelah segalanya siap, Imam az-Zuhri mulai
mendiktekan empat ratus hadits yang kata sang Khalifah hilang. Si juru tulis
mencatatnya dengan cermat setiap kata yang keluar dari lisan sang Imam. Setelah
selesai, diserahkanlah catatan itu kepada Khalifah Hisyam.
Khalifah mengecek dan mengkonfrontasikan dokumen baru
itu dengan catatan lamanya. Ternyata hasilnya luar biasa. Tak ada satu kata pun
yang berbeda antara catatan yang lama dan yang baru. Kedua catatan yang berisi
empat ratus hadits itu persis sama. Atas dasar itulah Khalifah Hisyam menyuruh
sang Imam mengajarkan hadits kepada anaknya.[14]
Banyak hal yang bisa kita teladani dari sosok perawi
hadits ini. Di antaranya, ketajaman otaknya dan kekuatan hapalannya yang tak
tertandingi. Dengan kekuatan hapalan yang luar biasa itu, Imam az-Zuhri
berhasil menghafal al-Quran hanya dalam waktu delapan puluh satu hari, sungguh
luar biasa.
Selain itu, Imam az-Zuhri merupakan sosok pengabdi
hadits sejati. Ia mempunyai kumpulan hadits yang jumlahnya mencapai dua ribu
lebih. Ia juga mengkader murid-muridnya dengan jalan mengajar, membiayai, dan
memfasilitasi segela keperluan yang mereka butuhkan. Dalam hal ini Imam Malik
menuturkan, Imam az-Zuhri mengumpulkan orang-orang yang belajar hadits dan
memberikan makanan dan perlengkapan lainnya dalam musim dingin atau musim
panas.
Imam Malik sendiri pernah memberikan kesaksian akan
kewibawaan Imam az-Zuhri, gurunya. "Jika Imam az-Zuhri memasuki Madinah,
tak seorang pun ahli hadits yang berani menyampaikan hadits di depannya sampai
ia beranjak keluar dari kota itu," papar Imam Malik.[15]
Masih menurut Imam Malik, jika sejumlah ulama senior
datang ke Madinah, orang-orang tidak begitu antusias menyambut mereka
dibandingkan dengan kedatangan Imam az-Zuhri. Jika Imam besar ini datang, maka
penduduk pun beramai-ramai memohon fatwanya.
Pakar hadits yang bernama asli Muhammad bin Syihab
az-Zuhri ini lahir pada 50 H pada periode akhir masa sahabat. Meskipun demikian
ia sempat bertemu dengan beberapa sahabat ternama. Di antaranya mereka adalah
Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, dan Sahal bin Saad.
Mereka adalah ahli di bidang hadits.
Disamping itu ia juga masih mendapatkan rujukan lain
dari para tabiin senior seperti Abu Idris al-Khaulani, Salim bin Abdullah bin
Umar, Said bin Musayyab, dan lainnya. Imam az-Zuhri wafat pada 124 H. Sangat
disayangkan, buah koleksi haditsnya hilang tak tentu rimba. Kita kehilangan
perbendaharaan ilmu yang berharga melebihi emas dan perak.
Sebagian besar hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Azzuhri jarang diriwayatkan orang lain. Dengan demikian, haditsnya akan
melengkapi dan memperkaya hadits lain. Imam az-Zuhri amat cermat menilai sanad
hadits. Dialah yang mendorong agar perawi menyebutkan sanad ketika meriwayatkan
hadits. Sebab, tanpa sanad siapa pun bisa berbicara apa saja yang dimaui tanpa
diketahui apakah itu hadits shahih atau bukan.[16]
Metode Sanad dan isnad
Dari Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian
dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, yang di samping pembukuan hadits
sekaligus dilakukan usaha menyeleksi hadits-hadits yang maqbul dan mardud
dengan menggunakan metode sanad dan isnad.
Metode sanad dan isnad ialah metode yang
digunakan untuk menguji sumber-sumber pembawa berita hadits (perawi) dengan
mengetahui keadaan para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan di mana ia hidup,
kawan semasa, bagaimana daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya. Ilmu
tersebut dibahas dalam ilmu yang dinamakan ilmu hadits Dirayah, yang kemudian
terkenal dengan ilmu Mustalahul hadits.[17]
Setelah generasi Az-Zuhri, kemudian pembukuan
hadits dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H), Ar-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H)
dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan di
atas, bahwa pembukuan hadits dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah,
tetapi belum begitu sempuma. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada
pertengahan abad II H. dilakukan upaya penyempunaan. Mulai waktu itu
kelihatan gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk
pembukuan dan penulisan hadits-hadits Rasul SAW. Kitab-kitab yang terkenal pada
waktu itu yang ada hingga sekarang sampai kepada kita, antara lain AI-Muwatha‘
oleh imam Malik (w 179 H), Al Musnad oleh Imam Asy-Syafi’i (w 204 H).
Pembukuan hadits itu kemudian dilanjutkan
secara lebih teliti oleh Imam-lmam ahli hadits, seperti Bukhari, Muslim,
Turmuzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain.
PENUTUP
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa, Khalifah Umar bin Abdul Aziz
memiliki peran yang sangat penting dalam usaha pembukuan hadits. Sebagai
seorang kepala negara, beliau berinisiatif untuk menghimpun, menulis dan
membukukan hadits-hadits nabi SAW agar tidak hilang bersama dengan meninggalnnya
para penghafal hadits dengan memerintahkan para gubernur dan Imam ahli hadits.
Diantara ulama’ penghafal hadits yang menerima perintah sang khalifah adalah
Imam Azzuhri.
Imam Azzuhri merupakan ulama’ ahli hadits yang
sangat dalam perhatiannya pada pelestarian hadits-hadits nabi SAW. Imam Azzuhri
pula yang merupakan ulama’ penulis dan penghimpun hadits yang pertama. Dalam
menulis hadits, beliau menggunakan metode sanad dan isnad.
Berkat dari usaha yang dirintis oleh Khalifah
Umar bin Abdul Aziz dan Imam Azzuhri tersebut, hadits-hadits Nabi Muhammad SAW
sebagai sumber hukum Islam selain al-Qur’an sampai sekarang masih dapat
dilestarikan dan dijadikan hujjah oleh umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Atsari, Ustadz Abu Faiz, Umar
Bin Abdul Aziz Kholifah pembela sunnah dan penegak keadilan, dalam Majalah Al-Furqon No.114 Ed 11 Th. Ke-10_1432 H.
Adz-Dzahabi, Sirah A’lam An-Nubala’. Ar-Risalah
5
Adz-Dzahabi, Tarikh Al-Islam, ditahqiq Dr.
Abdussalam Tadammuri. Dar Al-Kitab Al-Arabi.
Abu Nua’im Al-Ashbihani, Hilyah Al-Auliya’,.
Maktabah As-Sa’adah.
Adz-Dzahabi, Tadzkirah Al-Huffazh. Dar
Al-Fikr Al-Arabi.
Al-Mizzi, Jamaluddin, Tahdzib Al-Kamal. Dar
Ar-Risalah.
Solahudin, Drs. M., M.Ag dan Agus Suyadi,
L.C., M.A., Ulumul Hadits,Cet. II, Bandung, Pustaka Setia, 2011.
Ismail,
M. Shuhudi, (terj), Metodologi Penelitian Hadist, Jakarta, Bulan Bintang,
1992.
Ismail,
M. Shuhudi, Hadist Nabi dan sejarah
Kodifikasinya, Jakarta, Pustaka Firdaus.1994.
http://www.suaramedia.com/sejarah/sejarah-islam/22771-imam-az-zuhri-sang-mahagu ru-para-ahli-hadits.html
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/12/01/05/lxb52o-melacak-jejak-assuwa
ida-umar-bin-abdul-aziz-dan-assuwaida-bag-terakhir
[1] Ustadz Abu Faiz Al-Atsari,
Umar Bin Abdul Aziz Kholifah pembela sunnah dan penegak
keadilan, dalam Majalah Al-Furqon No.114 Ed 11 Th. Ke-10_1432 H. Lihat juga http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/12/01/05/lxb52o-melacak-jejak-assuwa
ida-umar-bin-abdul-aziz-dan-assuwaida-bag-terakhir
[11] Drs. M. Solahudin, M.Ag
dan Agus Suyadi, L.C., M.A., Ulumul Hadits,Cet. II, (Bandung:
Pustaka Setia, 2011), hal. 62. Lihat juga M. Shuhudi Ismail, (terj), Metodologi
Penelitian Hadist, (Jakarta, Bulan Bintang, 1992) hal.16
[12] M. Shuhudi
Ismail, Hadist Nabi dan sejarah
Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus.1994) hal.106
[13] Ibid., hal. 63
[14]http://www.suaramedia.com/sejarah/sejarah-islam/22771-imam-az-zuhri-sang-mahagu
ru-para-ahli-hadits.html
[15] Ibid.
[16]http://www.suaramedia.com/sejarah/sejarah-islam/22771-imam-az-zuhri-sang-mahaguru-para-ahli-hadits.html
[17] Drs. M. Solahudin, M.Ag
dan Agus Suyadi, L.C., M.A., Op. Cit. hal. 63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar