Minggu, 08 Juli 2012

Review Buku Jaringan Ulama' Timur Tengah


Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia), (Mizan Jakarta 1998), Bibliography and Index. Pp. 339, harga: Rp 15.000,-

Sejauh ini, tidak terdapat kajian komprehensif tentang jaringan ulang Timur Tengah dan Nusantara. Meski terdapat kajian-kajian penting tentang beberapa tokoh ulama Melayu-Indonesia pada abad ke-17 dan ke-18, tetapi tak banyak upaya dilakukan untuk mengkaji secara kritis sumber-sumber pemikiran mereka, dan khususnya tentang bagaimana gagasan dan pemikiran Islam mereka transmisikan dari jaringan ulama yang ada dan bagaimana gagasan yang mereka transmisikan itu mempengaruhi perjalanan historis Islam di Nusantara. lebih jauh, ketika jaringan keilmuan itu sedikit disinggung, kajian-kajian yang ada lebih berpusat pada aspek " organisasional" jaringan ulama di Timur Tengah dengan mereka yang datang dari bagian-bagian lain Dunia Muslim.
Tidak ada kajian yang membahas " kandungan intelektual" yang terdapat dalam jaringan ulama tersebut. Padahal, kajian tentang aspek intelektual ini sangat penting untuk mengenahui bentuk gagasan dan ajaran yang ditransmisikan melalui jaringan ulama.
Tampaknya inilah buku pertama yang menggunakan sumber-sumber Arab secara ekstensif dalam pengkajian yang berkenaan dengan sejarah pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Buku ini adalah edisi revisi yang lebih singkat dari disertasi Ph.D yang diajukan ke Departemen Sejarah, Columbia University, New York, pada akhir 1992. Karena itu, pembaca yang ingin memanfaatkan edisi lengkap karya ini, dipersilahkan melihat disertasi aslinya. Disertasi ini sendiri merupakan hasil penelitian selama lebih dari dua tahun di berbagai tempat dan perpustakaan, sejak dari Banda Aceh, jakarta, Ujung Pandang, Yogyakarta, Kairo, Makkah, Madinah, Leiden, New York City sampai ke Ithaca ( New York State ).
Karya ini merupakan langkah awal dalam upaya menyelidiki sejarah sosial dan intelektual ulama dan pemikiran Islam di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan perkembangan pemikiran Islam di pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah.
Dalam pendahuluan pembaca disuguhi gambaran-gambaran yang tentang keberadaan Islam, model Islam sampai kepada ajaran-ajaran Islam yang paling nyata berkembang di Indonesia. Khususnya pada abad 17 dan 18 M. disampaikan pula kesan mengkritisi tinjauan atau kajian Islam di Indonesia dan Timur Tengah. Dijelaskan bahwa hubungan Timur Tengah – Nusantara tidak seperti yang dituduhkan sebagian peneliti yaitu:
  1. Melihat Islam Indonesia sebagai yang tidak orisinil, terlalu banyak faktor lokal yang masuk kedalam Islam
  2. Islam Indonesia itu terlalu bersifat politis ketimbang keagamaan
Justru kalau secara jujur mau mengakui, bahwa telah terjadi transmisi Islam yang luar biasa dan sangat berpengaruh terhadap perkembanagn Islam selanjutnya. Dan pengaruhnya terhadap dunia Islam secara keseluruhan khususnya setelah dibukanya secara lebar jalur haji dan terjadinya hiruk-pikuk transmisi Islam Timur Tengah-Nusantara dan dengan ini dikenalah istilah al-ashab al-jawiyah (saudara dari jawa-nusantara).
Harus diakui memang perkembangan Islam di Indonesia itu terjadi dijaman dunia Islam mengalami kemunduran secara politis bahkan kehilangan semangat intelektual dan secara garis besar perkembangan Islam ke nusantara lebih banyak dibawa oleh para sufi yang memang suka bepergian. Selain para sufi  ini tentu  para pedagangpun turut andil dalam penyebaran Islam ke Indonesia.
Buktinya Islam yang berkembang di Indonesia lebih menggambarkan kesufian tersebut ditambah dengan kondisi lokal Indonesia yang berbasis hindu, Animisme dan dinamisme. Karena faktor lokal seperti ini maka para pendahulu Islam Nusantara menemukan momentumnya dalam menggunakan metode penyebaran Islam di Nusantara ini.
Terlepas dari bagaimana dan kelompok mana Islam berkembang di Nusantara, menurut Azra; proses transmisi Islam Timur Tengah - Nusantara, kurang mendapat perhatian. Azra menyebutnya cukup ditelantarkan. Buku ini (Jaringan Ulama-red) adalah suatu solusi kajian Islam dalam sudut yang sangat ada keterkaitannya dengan ketelantaran tersebut.
Untuk memberikan sedikit gambaran atas bab-bab yang dibahas dalam buku ini, berikut ini akan kami sampaikan  pembahasan serta penulisan bab demi bab yang ada dalam buku ini.
Pada bab pertama (Kedatangan Islam dan Hubungan Nusantara Timur Tengah) ini azra menjelaskan tentang teori-teori yang berkembang di antara para ahli sejarah, tentang seputar kedatangan Islam ke Nusantara. Sebagian mengatakan dari India, sebagian lain dari China dan lain sebagainya. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenahi hubungan antara Haramayn dengan Nusantara.
Ada dua hal yang pokok dalam bab ini yaitu :
1.        Teori kedatangan Islam ke Indonesia
Dalam persoalan ini Azra tidak begitu baru menjelaskan teori kedatangan Islam ke Indonesia, yang dikemukakan cenderung merupakan pengulangan teori yang ada yaitu; teori Gujarat, teori Makkah, dan teori Persia. Selain teori ini Azra mengajukan teori lain yaitu; teori Bengal dan Arabia. Dua teori Azra tersebut pada prinsipnya mengambil pijakan dari fakta-fakta yang ada di daerah-daerah yang ditemuai. Yang menjelaskan ciri-ciri Islam melalui nama-nama batu nisan sampai kepada madzhab yang berkembang pada daerah tersebut.
Teori lainnya adalah teori sufi. Yaitu yang paling banyak perannya dalam penyebaran Islam Indonesia adalah para sufi hal ini diperkuat dengan budaya nusantara yang kebetulan hinduistis dan semacamnya.
2.        Hubungan Awal Nusantara dan Timur Tengah
Sedikitya disebutkan tahapan-tahapan sebagai berikut: Abad 8-12 hubungan berbentuk perdagangan, Abad 15 hubungan berbentuk keagamaan dan cultural, Abad 16 hubungan lebih bersifat politis
Bagian dua “Jaringan ulama di Haramayn abad 17” Azra mengungkapkan tentang kebangkitan dan perkembangan jaringan ulama internasional pada abad ke-17,yang berpusat di Haramayn. Berbagai kebijakan yang diambil dalam pemerintahan Haramayn, yang kemudian memunculkan kemudahan dan efektifitas diantara para ulama untuk melakukan transmisi keilmuan diantara mereka. Selain itu juga dijelaskan proses ekspansi jaringan ulama ke daerah lain.
Pada bab ini, Azra mengetengahkan beberapa hal yaitu :
1. Latar historis jaringan ulama internasional
Makkah dan Madinah (Haramyn) dalah cikal bakal hubungan islam di dunia terutama disaat musim haji berlangsung. Hal ini berdampak besar terhadap kaum muslimin sepulangnya mereka dari makkah kembali ke kampung halaman. Haramyn tepatnya telah menjadi pusat intelektual muslim di dunia, ulama, filosof, penyair, pengusaha dan sejarawan ada di sini.
Dalam perkembangannya di Haramyn ini terdapat: sekolah-sekolah, dukungan dari penguasa,terciptanya perdagangan yang meluas dan terciptanya imigrasi besar-besaran dari dan ke Timur-Tengah
2. Diskursus keilmuan Haramayn
Terdapat para ulama yang melimpah di Haramayn, para pembaca qur’an, dan penyalin kitab-kitab keagamaan. Berdasarkan penelitian seperti ditemukan dalam pengembara ibnu Batuthah sedikitnya terdapat 35 ulama di Makkah ini tentu saja tidak mencantumkan semuanya kendatipun demikian hal ini menyebutkan dari berbagai wilayah. Al-Fasi mencatat sekitar 3.548 ulama terkemuka. Semakain banyak ulama yang berkunjung maka akan semakin banyak dan menyebar pula ulama di Haramyn ini. Sejak abad 17 negeri asal ulama ini berkumpul ulama dan murid tidak terkecuali wilayah peri-peri seperti nusantara, Afrika Asia Cina membentuk diskursus jaringan ulama.
3. Inti jaringan ulama abad 17
Ada dua ulama inti yang berperan dalam membentuk jaringan ulama yang digambarkan seperti ketersambungan sanad hadits.
a.       Al-Fasi dan dengan muridnya dan juga teman baiknya yaitu ibnu hajm seorang muhaddis yang hidup di Mesir;
b.      An-Nahrawali terkemuka di Haramayn beliau mempunyai peran besar (ektensif) tidak saja dengan ulama abad 17 tetapi juga deangn ulama abad 18
Kedua tokoh ini menghasilkan pertukaran pengetahuan transmisi tradisi-tradisi kecil dari India dan Mesir ke Hejaz.
4. Ulama pada pergantian abad
Wafatnya satu ulama tidak lantas menghentikan estafeta jaringan ulama pilar inti yang menghubungkan jaringan ulama abad 17 adalah al-kurnani. Dan murid-muridnya kemudian melanjutkan mata rantai jaringan ulama mereka menjadi penghubung-penghubung krusial dengan ulama abad ke 18. Beberapa nama besar dari mereka di antaranya:
a.       AL-Azami, jaringan yang ditempuh oleh ulama ini adalah melalui jalur ilmu hadits.
b.      Al-Barzanji, dia adalah ahli di bidang fiqh, muhaddis dan syekh tarekat qadariyah.
c.       Al-Nakhli, seorang ulama yang dikenal selain sebagai guru juga banyak belajar dengan ulama-ulama hadits sehingga an-nakhli adalah sebagai penghubung para guru dan murid melalui studi haditsnya.
5. Jaringan ulama karakteristik
Diantara para ulama ini adalah terdapat karakteristik yaitu adanya hubungan kompleks saling silang antara satu denagan yang lainnya. Hala sangat elementer adalah mereka tercipta dalam kaitannya mencari llmu melalui lembaga-lembaga pendidikan; masjid-masjid, ribath-ribath, madrasah-madrasah. Hubungan lainnya adalah seumpama isnad hadits dan silsilah tarekat.
Bab tiga tentang Pembaharuan Dalam Jaringan Ulama dan Penyebaran ke Dunia Islam Yang Lebih Luas memaparkan adanya pembaharuan yang terjadi, sebagai akibat dari terjalinnya antar ulama dari berbagai daerah ini. Perkembangan dan kecenderungan masyarakat muslim dari mistik menuju pada neo-sufisme. Dalam bab ini juga akan dijelaskan tentang penyebaran pembaharuan yang terjadi dalam jaringan tersebut, ke dunia Islam yang lebih luas.
Yang mendasar dalam bab ini adalah Azra menyampaikan perkembangan sufisme yaitu neo-sufisme yang dikaitkan dengan diskursus Islam fundamental lainnya yaitu: hadits, syari’at, aktivessme, dan organisasi tarekat.
Keterkaitannya dengan hadits, justru bahkan para pengkaji hadits yang mengembangkan neo-sufisme. Melalui keterlibatan para muhaditsin ini sufisme dikemas lebih kepada bagaimana menigkatkan keluhuran akhlaq dan mempertinggi kesadaran spiritual. Dan sebaliknya penyebaran hadits-hadits disampaikan melalui tarekat-tarekat yang berada disetiap organisasi sufisme. Jadi tekanan yang paling dominan pada era ini adalah para ulama penelaah hadits. Dan pandangan neo sufismenya adalah agar para sufi dalam menafsirkan hadits adalah didasari denagn pengetahuan dan pemahaman yang dalam, memadai tentang seluruh ajaran Islam. Mengkaitkan neo-sufisme dengan syari’at di katakan bahwa dalam menjalankan sufisme tidak berati meninggalkan prisif-prinsip syaria’at, agar mendasarinya dengan hukum-hukum syari’at terutama dalam kaitannya menjalankan tugas kehidupan di dunia.
Terdapat pula penekanan dalam penggunaan akal dan ijtihad sebagaimana yang diberlakukan ketika islam mengalami kejayaan dan masa mutakallimin. Penekanan hal ini adalah ketika mengkaitkan neo-sufisme dengan aktivisme. Memanfaatkan peran akal dan pengetahuan dalam koridor syariat. Selanjutnya digambarkan bagaimana hubungan koneksitas jaringan ulama asia afrika. Pada konteks ini factor saling silang terus bergulir sampai kepada hal yang lebih kompleks. Hubungan jaringan ulama lebih luas dimana kebiasaan singgah dari satu tempat ketempat lain akhirnya menjadi titik adanya jaringan tersebut.
Pada bab ini Azra, justru tidak begitu gamblang menjelaskan bentuk jaringan yang dibangun. Penjelasan yang ada justru kepada kemunculan ulama terkemuka dan karya-karya mereka. Penguasaan terhadap suatu ilmu dan trac recordnya. Namun demikian dengan tarekat-tarekat yang dibangun para ulama disinyalir menjadi media pembangunan jaringan ulama. Ulama-ulama sufi ini langsung tidak langsung berkaitan dengan koneksitas para ulama abad 18. Misalnya tarekat Tijaniah yang disebut-sebut agen penyebaran Islam di wilayah Afrika.
Bab empat (Besar para perintis gerakan pembaharuan Islam di Nusantara; Ulama Melayu-Indonesia dalam jaringan abad 17) menjelaskan tentang ulama Nusantara yang memiliki andil terhadap kelahiran pembaharuan Islam di Nusantara ini. Disini juga dijelaskan secara mendalam, terperinci tentang biografi, pemikiran, jaringan yang dilakukannya, peranan serta karya-karya dari beberapa ulama Nusantara, seperti :Nur Al Din Al Raniri  (W. 1068/1658), Abd Al Ra’uf Al Sinkili (1024-1105/1615-1692) dan Muhammad Yusuf Al Makassari (91037-1111/1627-1699)
Catatan penting dimensi perubahan torehan al-raniri adalah adanya kesalahan dalam praktek keagamaan (tarekat-red). Untuk melakukan pembaharuan ini AL-raniri menuggu waktu dan kekuatan. Setelah kuat dilancarkannlah pembaharuannya. Adapn yang diserangnya adalah pendapat wujudiyah dengan doktrinnya mistiko-filosofis. Yang berkembang di Aceh dan dipandang sesat.
Al-Singkili, dalam tataran politis membantu membuat fatwa tidak diperbolehkannya wanita menjadi pemimpin. Dalam keagamaan kendatipun sama dalam melancarkan pembaharuannya memberantas penyimpangan dalam tarekat, lebih bersifat kompromiftif, dan tidak lekas mencap kafir suatu kelompok dengan pandangan menyipang. Dalam persoalan sufisme Al-Singkili untuk bias mendekatkan manusia dengan Tuhan maka perlunya meakukan dzikir.
Al-Maqasari, menurut pandangan Azra, al-Singkili melakukan upaya mendamaikan hal esoteric dan eksoteris Islam. Dalam hal ini ia mengatakan bahwa ketika seseorang ingin memasuki dunia sufi harus melampaui syariat terlebih dahulu. Untuk ini Ia memberikan petunjuk jalan menuju sufi. Dengan demikian al-singkili adalah seorang tokoh sufisme dan dengan jalan sufi ini pula dia membangun jaringan ulama.
Di bab lima, diketengahkan jaringan para ulama dan pembaharuan Islam di wilayah-wilayah Indonesia abad 18. Para ulama yang di kemukakan adalah Al-Palembangi, Al-Bantani dan Patani. Neo-sufise pun turut dijelaskan berikut pengaruhnya.
Pikiran pokok yang dapat saya sampaikan adalah seluruh ulama Melayu-Nusantara dalam pembaharuannya tidak menyarankan pembaharuan doktrinal dasar Islam yang dilakukan secara radikal. Adapun tema tajdid yang dikembangkan adalah kembali kepada ortodoksi sunni, yaitu kejelasan syariat dan tasawuf. Sumbangan utama dari para pembaharu ini adalah penguatan jati diri Islam dalam masyarakat mereka. Dan sebagai wujudnya adalah Islamisisai Nusantara.
Selain menjelaskan tentang jaringan ulama beserta langkah pembaharuan yang dilakukan oleh para ulama diwilayah Melayu-Indonesia, khusunya pada abad ke-18. Bab ini dilanjutkan dengan kesimpulan, dalam akhir buku ini dikemukan juga tentang rute perjalanan Al Raniri, rute perjalanan Al Maqassari, bibliografi serta indek nama.
Pada bagian kesimpulan, secara umum Azra telah mengukapkan bagaimana Islam bisa berkembang di seluruh timur-Tengah dan Nusantara-Melayu. Dan faktor utamnaya adalah karena adanaya trasmisi para ulama. Yang terbangun kuat sepanjang abad 17 dan 18. Koneksitas yang terjalin di anatara para ulama adalah karena proses saling silang dan terus berestafet dari satu guru keguru lainnya dan dari murid kemurid lainnya. Hal ini sangat kontras ketika melaksanakan ibadah haji.
Dari sudut pandang ke Islaman, maka islam yang berkembang sebenarnya lebih mengetengahkan Islam sufistis terlepas apakah sufisme awal atau neo-sufisme yaitu islam yang berorientasi pada syariat.
Pada kenyataannya organisasi tarekat langsung tidak langsung telah membentuk menjadi sarana jaringan ulama Nusantara. Namun demikian pada perjalanannya dalam persoalan tasawuf ini tidak lepas dari penyimpangan-penyimpangan. Dalam hal ini pembaharuan perlu dilakukan. Pembaharuan yang dilakukan adakalanya dengan mengambil jalan kompromiftif evolusioner tetapi tidak dapat dipungkiri terdapat pula yang mengambil bentuk revolusione-radikalistis seperti tampak pada gerakan Wahhab Kallaf dengan furitanisme Islamnya di Arab Saudi.
Kelebihan penelitian Azra ini adalah telah berhasil mengetengahkan persoalan yang selama ini kurang begitu dilakukan dalam diskursus intelektual Islam khususnya bagaimana transmisi ulama. Secara luas dan dalam buku ini dapat dijadikan rujukan khususnya dalam mengkaji para ulama di dunia Islam dan jelas tergambar system trasmisi dan penyebaran ulama yang berpusat dari dan di Timur Tengah sampai penyebarannya ke seluru dunia (Nusantara).
Buku ini berhasil menjelaskan:
1.      Terbentuknya jaringan keilmuan ulama Timur Tengah-Nusantara
2.      Sifat dan karakteristik jaringan para ulama
3.      Peran ulama Melayu-Nusantara
4.      Keilmuan yang berkembang dan dipergunakan dalam membangun jaringan ulama
5.      Landasan perkembangan Islam selanjutnya dimana terdapt landasan pembaharuan dalam Islam khususnya dal;am persoalan tasawuf (neo-tasawuf)
Menurut kami, kekurangan buku Azra ini adalah pemetaan jaringan dan komposisi para ulama yang tidak terlihat secara sistemik bagaimana jaringan ulama itu dibangun. Tidak terdapat suatu wadah secara khusus yang mengikat diantara para ulama. System yang tampak adalah sebatas hubungan guru murid dan begitu seterusnya setelah para ulama tersebut membuka halaqahnya masing-masing. Satu-stunya media yang mungkin ada itupun karena disebabkan oleh penunaian ibadah haji.

1 komentar: